SYUBHAT TAHAKUM
Ini adalah sebagian [bantahan] syubhat dari orang-orang yang membolehkan untuk berhukum (tahakum) kepada thaghut yang dinukil dari Kitab Miiraats Al Anbiyaa:- Syubhat Pertama: Ini adalah syubhat yang paling buruk: yaitu perkataan mereka yang mengatakan bahwa perbuatan ini tidak termasuk tahakum, namun ini hanyalah sekedar pergi dan menuntut hak yang jika dibiarkan akan hilang.
Bantahan:
Kami katakan; Ketahuilah sesungguhnya manusia terkadang mengatakan sebuah perkataan yang dia sama sekali tidak memperhatikannya, seandainya kalimat ini dicampurkan ke dalam lautan (tentu akan merusaknya), dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengatakan hal ini kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha seperti yang diriwayatkan di dalam Sunan at-Tirmidzi dan Abu Dawud. Dan sesungguhnya berkata dengan perkataan seperti ini adalah termasuk bagian dari berkelit terhadap dienullah dan dari hal-hal yang diharamkan Allah, yang mana sudah menjadi hal yang dimaklumi oleh mereka yang memiliki akal bahwa hakikat sesuatu itu tidak akan berubah dengan berubahnya nama. Al-‘Allamah Abdullah ibn Abdurrahman Aba Bathin berkata; “Siapa yang mengarahkan salah satu jenis dari jenis-jenis ibadah kepada selain Allah, maka berarti dia telah mengibadati hal itu dan telah menjadikannya sebagai tuhan, dan telah menyekutukan Allah dengannya dalam hak yang murni milik-Nya … walau dia mengelak untuk menyebut itu sebagai menjadikan tuhan, ibadah atau kesyirikan, karena sudah menjadi hal yang diketahui bagi setiap yang berakal bahwa hakikat sesuatu itu tidak berubah dengan berubahnya nama-namanya.”
Maka tidaklah ragu lagi bagi setiap muslim, bahwa tahakum adalah merujuk dan menyerahkan urusan kepada siapa yang diserahkan atasnya sumber persengketaan, untuk diselesaikan masalah itu, dan ini adalah perbuatan jawarih (anggota badan) dan bukan perbuatan hati, maka siapa yang mengatakan bahwa perbuatan tahakum tidaklah dianggap tahakum kecuali jika diniatkan untuk pergi dan bertahakum kepada thaghut karena dia menganggap bahwa itu hukumnya lebih baik dari hukum Allah, maka dia seperti orang yang mengatakan bahwa sujud tidaklah disebut sujud kecuali jika dia meyakini di dalam hatinya bahwa yang dia sujudi adalah sesuatu yang berhak dia sujudi, Imam Ibnu al-Qayyim telah membantah perkataan seperti ini, yakni tentang orang yang menganggap bahwa ibadah tidaklah disebut ibadah hingga jika pelakunya meyakini apa yang dikerjakannya adalah ibadah, beliau mengatakan; “Dan di antara jenis-jenis syirik: sujudnya murid kepada guru, sesungguhnya itu adalah perbuatan syirik dari orang yang bersujud dan orang yang disujudi, dan yang mengherankan mereka mengatakan; ‘ini bukan sujud, akan tetapi sekedar meletakkan kepala di kaki guru sebagai penghormatan dan sikap rendah diri’, maka dikatakan kepada mereka; ‘Apapun kalian menyebutnya, karena hakikat sujud adalah meletakkan kepala kepada orang yang disujudi…” (66)
Kemudian, terkadang menjadi isykal bagi sebagian orang tentang adanya riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah masuk ke dalam perlindungan al-Muth’im ibn Adi. Maka kami katakan sebagai jawaban terhadap isykal ini: Jika seseorang telah memahami makna tahakum, tentu tidak akan mucul masalah seperti ini, karena sesungguhnya tahakum sebagaimana dijelaskan sebelumnya maknanya adalah; “merujuk dan menyerahkan kepada siapa yang di sisinya persengketaan diputuskan. Allah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.” [An-Nisa`: 59] Inilah makna tahakum, yakni terjadinya persengketaan di antara dua orang lalu keduanya pergi kepada seseorang yang diserahkan kepadanya masalah itu untuk diputuskan antara keduanya dalam suatu masalah atau perkara, dan tidak diragukan lagi bahwa ini adalah kufur dan syirik akbar, karena ini adalah tahakum kepada thaghut, adapun meminta perlindungan dari orang kafir maka tidak ada dalil yang mengharamkannya, dan ini juga telah dilakukan oleh Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu ketika dia masuk ke dalam perlindungan Ibnu Ad Dughanah, begitu juga tatkala para shahabat masuk ke dalam perlindungan raja Najasyi di masa awal Islam karena takut dari perbuatan buruk kaum musyrikin.
Dan dari sini juga jelaslah bagi kita kesalahan siapa yang berdalil dengan kejadian Hilfu al-Fudlul yang terjadi di rumah Ibnu Jad’an pada masa jahiliyah (67) atau dalil lainnya tentang pergi menuju mahkamah-mahkamah thaghut ini dan bertahakum kepadanya, dan juga tidak diragukan bahwa pengambilan dalil ini tidaklah shahih, karena keadaan para pelaku Hilfu al-Fudhul bukanlah para thaghut sebagaimana keadaan para dukun Juhainah, Ka’ab ibn al-Asyraf, dan lain sebagainya dari para thaghut yang menghukumi manusia dengan hukum-hukum thaghut, tapi mereka hanya sekelompok orang-orang musyrik yang berkumpul untuk menolong orang-orang yang terzhalimi saja, dan ini adalah perkara terpuji yang dianjurkan oleh Islam. Karena itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
شهدت مع عمومتي حلف المطيبين فما أحب أن أنكثه وأن لي حمر النعم
“Aku menyaksikan bersama paman-pamanku perjanjian muthayyibin (hilfu al-fudlul) dan aku tidak senang untuk melanggarnya walau aku diberi unta merah”.
Maka kami perlu bertanya kepada mereka yang menjadikan peristiwa ini sebagai dalil, kami bertanya kepada kalian; Apakah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ini ditetapkan kepada Ka’ab ibn al-Asyraf dan kepada para dukun Juhainah dan yang lain, dari para thaghut yang mana masyarakat jahiliah berhukum kepada mereka?
Jika kalian menjawab; tidak, maka kami bertanya; Kenapa? Jika kalian menjawab; Karena mereka tidak memutuskan hukum dengan adil, tidak mengembalikan sesuatu yang diambil secara zhalim kepada pemiliknya dan mengambil suap. Kami bertanya; Apakah Allah Ta’ala ketika memerintahkan kita untuk kufur kepada mereka dan tidak bertahakum kepada mereka hanyalah karena mereka tidak memutuskan hukum dengan adil dan mengambil suap? Atau karena mereka adalah thaghut yang tidak sah keislaman seseorang kecuali dengan kufur kepada mereka dan meninggalkan tahakum kepada mereka? Ini adalah pertanyaan pertama.
Pertanyaan kedua: Kalian mengatakan; Sesungguhnya kita bertahakum kepada mereka dalam perkara yang akan diputuskan oleh mereka dengan adil, adapun jika zhalim maka tidak. Maka apa dalil kalian dalam membeda-bedakan hal ini? Padahal Allah telah melarang kita untuk bertahakum kepada mereka, dan menjelaskan bahwa siapa yang bertahakum kepada mereka berarti belum kufur kepada mereka, tanpa membeda-bedakan antara tahakum kepada mereka dalam perkara yang akan adil dan tahakum kepada mereka dalam perkara yang akan zhalim, dan orang yang menjadikan peristiwa hilful-fudlul sebagai dalil maka pengambilan dalil ini tidak shahih karena para pelaku perjanjian ini bukanlah para thaghut yang telah mengangkat diri mereka sebagai pemutus hukum di antara manusia dengan hukum thaghut, tapi mereka hanya sekelompok orang musyrik yang berkumpul untuk menolong orang yang terzhalimi saja. Maka dari sini kita harus membedakan antara siapa yang pergi kepada para pemilik jabatan dan kekuasaan namun bukan thaghut lalu dia meminta pertolongan kepada mereka untuk mengembalikan haknya yang dizhalimi atau meminta perlindungan dari mereka, dan antara orang yang pergi bersama lawan sengketanya kepada seorang hakim thaghut yang telah mengangkat dirinya sebagai sesembahan di muka bumi dan menetapkan hukum-hukum kepada manusia, lalu orang ini meminta keputusan hukum kepada mereka dan menyerahkan persengketaan kepada mereka. Ini adalah perbuatan kufur dan tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan ikrah, dan orang yang mukrah (dipaksa) adalah dia yang yakin akan terjadinya bahaya atas dirinya berupa pembunuhan atau siksaan atau lainnya. Allah Ta’ala berfirman;
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
“Barangsiapa yang kufur kepada Allah setelah dia beriman, kecuali siapa yang dipaksa sedang hatinya tetap merasa tenang dengan keimanan, akan tetapi siapa yang lapang dada dengan kekafiran…”
Maka bagi seorang muslim hendaknya dia berhati-hati dan waspada, tidak terburu-buru dan buruk pemahaman sehingga berbicara hanya berdasarkan persangkaan, hingga tergelincirlah kaki di saat tidak lagi bermanfaat penyesalan.
- Syubhat kedua: Yakni perkataan mereka yang mengatakan; Sesungguhnya orang-orang yang diturunkan kepada mereka ayat-ayat ini mereka ingin bertahakum kepada thaghut karena mereka tidak ridha dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, sedangkan kita bertahakum akan tetapi kita tidak menginginkan hal seperti itu.
Bantahan: untuk membantah hal ini bisa dilihat dari beberapa sisi:
Sisi pertama; Sesungguhnya Allah Ta’ala ketika berfirman;
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
“Mereka hendak bertahakum kepada thaghut” [An-Nisa`: 60]. Tidak menjadikan iradah (kehendak) di sini sebagai syarat dalam kufurnya orang yang bertahakum kepada thaghut, hanya saja yang menjadikannya sebagai syarat dalam hal ini adalah orang yang berkata dengan perkataan ini. Allah ketika berfirman “Mereka hendak berhukum kepada thaghut” adalah menyifati keadaan dua laki-laki, satu Yahudi dan satu munafik, keduanya ingin bertahakum kepada Ka’ab ibn al-Asyraf, dan dia lah thaghut yang dimaksud dalam ayat ini, akan tetapi orang Yahudi ini menolak karena tahu bahwa Ka’ab ibn al-Asyraf mengambil suap, maka keduanya lalu bertahakum kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka kesimpulannya bahwa Allah ketika berfirman “mereka hendak” adalah menjelaskan keadaan orang Yahudi dan munafik tersebut dan bukan menjadikan kehendak di sini sebagai syarat kufur, sebagaimana perkataan “Si fulan melakukan ini dan itu dan sebelumnya dia hendak melakukan ini dan itu” maka perkataan “dia hendak” dalam susunan kata seperti ini adalah menjelaskan keadaan.
Sisi kedua: Mereka mengatakan bahwa mereka bertahakum kepada mereka (thaghut) sedang mereka tidak menginginkan melakukan hal itu. Tidak diragukan bahwa ini adalah benar, di mana tidak ada seorang pun yang melakukan suatu pekerjaan atau urusan yang dia tidak berkehendak melakukannya, karena pekerjaan tidak akan terjadi kecuali jika dia dibarengi dengan kehendak, berbeda dengan kehendak, terkadang dia timbul dibarengi dengan perbuatan yang menyertainya dan terkadang juga tidak dibarengi, dan bisa jadi mereka ingin mengatakan dan bertujuan dari perkataan mereka bahwa orang tersebut bertahakum kepada mereka (thaghut) akan tetapi tidak menghendaki hal itu, yakni tidak menghendaki syirik dan kufur dan tidak bertujuan untuk itu. Jika ini adalah maksud mereka maka masalah ini akan dijelaskan bantahannya – dengan izin Allah – pada sisi ke enam.
Sisi ketiga: Berkata Imam Abu Sa’ud – rahimahullah – dalam tafsir firman Allah :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka beriman terhadap apa yang telah diturunkan kepadamu dan terhadap apa yang diturunkan kepada orang-orang sebelummu mereka hendak berhukum kepada thaghut…” dia mengatakan; “Bentuk ta’ajub dan menganggap buruk (istiqbah) dalam penyebutan keinginan untuk bertahakum kepada thaghut tanpa menyebutkannya secara langsung (yakni tahakum-nya itu sendiri) sebagai peringatan bahwa iradah (kehendak/keinginan)-nya itulah yang menyebabkan ta’ajub ini ini, dan tidak sepantasnya untuk masuk dalam hal ini, maka bagaimana gerangan dengan tahakum-nya itu sendiri?!”
Perhatikanlah saudaraku, semoga Allah memberimu petunjuk, perkataannya: “maka bagaimana gerangan dengan tahakum-nya itu sendiri ?” maksudnya adalah tahakum kepada thaghut.
Sisi keempat: Bahwa umat telah sepakat tentang orang yang mengarahkan salah satu ibadah zhahirah yang seharusnya hanya untuk Allah, kepada selain Allah, maka dia adalah musyrik dan telah melakukan syirik akbar yang mengeluarkan dari millah, baik dia menghendakinya atau tidak, baik dia ridha atau tidak, kecuali orang yang dipaksa (ikrah).
Sisi kelima: Bahwa perkataan seperti ini masuk ke dalam bab ‘Mengambil makna mutasyabih dan meninggalkan makna muhkam yang jelas yang telah Allah jelaskan dengan firman-Nya :
وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Padahal mereka telah diperintahkan untuk kufur kepadanya” [An-Nisa`: 60], dan juga seperti firman Allah Ta’ala :
وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“dan jauhilah taghut” [An-Nahl: 36].
Berkata Syaikh Sulaiman ibn Abdullah Alu Syaikh rahimahullah: “Dan firman Allah :
وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Padahal mereka telah diperintahkan untuk kufur kepadanya” [An-Nisa’: 60] Yakni kepada thaghut, ini adalah dalil bahwa tahakum kepada thaghut itu menghilangkan iman dan berlawanan dengannya, maka tidak sah keimanan kecuali dengan kufur kepadanya dan meninggalkan tahakum kepadanya, maka siapa yang tidak kufur kepada thaghut berarti tidak beriman kepada Allah”.
Maka jika kita telah mengetahui makna yang muhkam, kita kembalikan makna mutasyabih kepadanya, Imam Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berkata menjelaskan sifat kufur kepada thaghut: “Adapun sifat kufur kepada thaghut adalah engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah, meninggalkannya, membencinya, mengkafirkan pelakunya, dan memusuhinya.”
Seandainya seseorang meyakini bathilnya peribadatan kepada selain Allah, namun dia tidak meninggalkannya, maka itu berarti dia belum kufur kepada thaghut, dan seandainya dia meyakini bathilnya hal itu dan meninggalkannya, namun dia mencintainya dan tidak membencinya, maka berarti dia belum kufur kepada thaghut.
Sisi keenam: Bahwa iradah (kehendak/keinginan), jika kalian memaksudkan dengannya tekad niat dan ucapan bukan perbuatan, maka begitu juga orang-orang yang menyembah kuburan dan thawaf di sekelilingnya, mereka mengatakan; ‘Ya, kami melakukan thawaf di sekelilingnya dan menujukan perbuatan ini untuknya, akan tetapi kami tidak menginginkan kesyirikan,’ maka sudah menjadi hal yang maklum bagi setiap muwahhid bahwa ucapan mereka ini adalah bathil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata; “Maka secara umum, siapa yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran maka dia kafir dengan hal itu walaupun dia tidak bermaksud untuk menjadi kafir, karena tidak satu orang pun yang berniat menjadi kafir, kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (70)
Imam Ath-Thabari berkata di dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah;
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا .الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah (Muhammad), “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?” (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.” [Al-Kahfi: 103-104], dia berkata; “Dan ini adalah dalil paling jelas atas kekeliruan siapa yang berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang menjadi kafir kepada Allah kecuali siapa yang bemaksud kafir setelah mengetahui keesaan-Nya, karena Allah Ta’ala telah menyebutkan kabar keadaan orang-orang yang sifatnya seperti yang dijelaskan dalam ayat ini, bahwa amal perbuatan yang telah mereka kerjakan di dunia hilang sia-sia, padahal dahulu mereka menyangka bahwa mereka berbuat baik ketika melakukannya.”
Dan berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Fath; “Dan di dalamnya juga menunjukkan bahwa di antara kaum muslimin ada orang yang keluar dari dien tanpa dia bermaksud keluar darinya dan tanpa memilih dien lain selain dienul-Islam.”
Beliau – rahimahullah – juga berkata; “Aku berkata; Dan di antara yang condong kepada perkataan ini adalah ath-Thabari di dalam Tahdzib-nya dia mengatakan setelah memaparkan hadits-hadits dalam bab ini: ‘Di dalamnya terdapat bantahan terhadap perkataan orang yang mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang keluar dari ahlul-kiblat setelah dipastikan hukumnya, kecuali dengan maksud keluar darinya secara mengetahui, dan ini menyalahi sabdanya di dalam hadits “Mereka mengatakan kebenaran, membaca al-Quran dan keluar dari Islam dan tidak tergantung kepadanya sedikitpun.” (71)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata di dalam al-Kafi: “Dan karena kebanyakan riddah (kemurtadan) terjadi disebabkan syubhat yang menimpa.”
Dan berkata Imam al-Mujaddid Muhammad ibn Abdul Wahhab; “Ketiga: Dan perbuatan-perbuatan ini yang dilakukan di sisinya, dari al-qashdu (bermaksud) dan tawajjuh (menghadapkan), dari mengabulkan doa, memenuhi hajat, dan memberi pertolongan dari kesusahan, apakah ini juga yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Arab sebelum diutusnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam di sisi Lata, ‘Uzza dan Manat, benar-benar sama ataukah tidak?
Keempat: Bila orang muslim mumin melakukan hal ini maka apakah dia menjadi kafir dan terhapus amalannya atau tidak? Bila yang pertama masih menjadi isykal bagimu maka perhatikanlah pertanyaan dua malaikat di alam kubur dan jawabannya : (Ha ha saya tidak mengetahui, saya mendengar orang-orang mengucapkan sesuatu maka saya ikut juga mengucapkannya,
Kedua: Bila kamu mengatakan bahwa itu ada maka kamu wajib membuktikannya.
Ketiga: Bila al qashdu itu itu adalah bukan al qashdu maka kamu wajib membedakannya dengan dalil-dalil yang shahih dari Al Kitab, As Sunnah atau ijma umat.
Keempat: Jika engkau mengatakan bahwa Islam melindunginya dari kekufuran walaupun dia melakukan apa yang dia lakukan, maka telaah lagi bab Hukum Murtad dalam kitab al-Iqna’ dan lainnya, wallahu a’lam.”
Beliau juga berkata; “Dan berkata Syaikh rahimahullah di dalam Ar-Risalah as-Saniyyah, ketika menyebutkan hadits tentang Khawarij dan keluarnya mereka dari dien, dan perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk memerangi mereka, dia berkata; “Dan apabila di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan khalifahnya ada orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam dari mereka yang telah lepas darinya, padahal ibadah mereka sangat hebat, sampai-sampai Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk memerangi mereka, maka ketahuilah bahwa orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam atau sunnah di zaman ini terkadang juga telah keluar dari Islam.”
Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata di dalam kitab ‘Tathhiru al-I’tiqad ‘an Adrani asy-Syirki wa al-Ilhad’: “Jika engkau mengatakan “mereka itu tidak mengetahui bahwa mereka itu menjadi musyrik lantaran apa yang mereka lakukan itu, maka aku katakan bahwa para fuqaha telah menyebutkan di dalam kitab-kitab fiqih pada Bab Riddah; bahwa siapa yang mengucapkan satu kalimat kekufuran maka dia telah kafir walau tidak bermaksud dengan maknanya, ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal hakikat Islam tidak juga kandungan tauhid, sehingga ketika itu mereka menjadi orang-orang kafir asli.”
Kami katakan, sebagian orang terkadang rancu di sini, pada masalah takfier mu’ayyan, mereka mengira bahwa orang yang melakukan perbuatan syirik akbar karena ta’wil maka tidak dikafirkan dan tidak keluar dari millah Islam, mereka terkadang mengambil dalil dengan sebagian peristiwa seperti peristiwa Makmun ketika dia berpendapat tentang al-Quran adalah makhluk (khalqul-Quran) karena takwil dan bahwasanya Imam Ahmad tidak mengkafirkannya, dan lain sebagainya. Maka tidak diragukan ini adalah kerancuan yang parah, di mana ada perbedaan antara syirik dan kufur jaliy (jelas) seperti syirik dalam ibadah, istihza’ (mengolok-mengolok) Allah dan Rasul-Nya serta lainnya, dengan kufur khafiy (samar) seperti berkata dengan perkataan kekufuran yang samar, dan pentakwilan pada sebagian sifat Rabb yang samar bagi sebagian orang, seperti sifat kalam dan lain sebagainya.
Di antara ulama yang tampil menjelaskan hal ini adalah Imam Muhammad ibn Abdul Wahhab sebagaimana di dalam sebagian suratnya yang terdapat di dalam Tarikh Nejd milik Syaikh Husain ibn Ghunnam, di mana disebutkan pendapat yang diambil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang membedakan antara syirik di dalam ibadah dengan sebagian pendapat-pendapat kekufuran yang samar. Juga telah dijelaskan hal ini oleh Syaikh Abdullah ibn Abdurrahman Aba Bathin dan al-‘Allamah Syaikh Ishaq ibn Abdurrahman ibn Hasan Alu Syaikh di dalam risalahnya yang berjudul ‘Hukmu Takfiril-Mu’ayyan’ dan juga ulama-ulama mulia lainnya, rahimahumullah.
Syubhat Ketiga: Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa tahakum jika itu memang termasuk perbuatan syirik akan tetapi ia itu hanyalah syirik kecil dan tidak sampai tingkatan syirik akbar kecuali jika dibarengi sikap istihlal (menghalalkan) atau i’tiqad, seperti sumpah dengan selain Allah.
Bantahah:
Kita katakan: Di antara hal yang telah maklum, sama-sama diketahui, bahwa ibadah yang tidak boleh kecuali untuk Allah, seperti ruku’, sujud, doa, istighatsah, menyembelih, nadzar, thawaf, tahakum, khouf, raja’ (mengharap), inabah (kembali/bertaubat), mahabbah (mencintai), ta’zhim (mengagungkan) dan lain sebagainya dari jenis-jenis ibadah, terbagi menjadi tiga macam, di antaranya ada yang berkaitan dengan I’tiqad (keyakinan), ada yang berkaitan dengan perkataan, dan ada yang berkaitan dengan perbuatan.
Adapun ibadah zhahir yang berkaitan dengan perkataan dan perbuatan, seperti doa, istighatsah, ruku’, menyembelih, nadzar, thawaf, tahakum dan lain sebagainya, maka sesungguhnya orang yang mengarahkan salah satu dari ini semua kepada selain Allah, kepada berhala, orang yang telah mati atau kepada para thaghut, maka dengan itu dia menjadi kafir dan jatuh kepada kesyirikan akbar, dan tidak harus dalam hal ini dia menampakkan keyakinannya atau istihlal (penghalalan), karena dia telah memperlihatkan secara zhahir pengalihan ibadah kepada selain Allah.
Adapun ibadah-ibadah yang bersifat bathin, yang berkaitan dengan keyakinan (I’tiqad), seperti khouf, raja’, mahabbah, ta’zhim, dan lain sebagainya, maka bagi pelakunya untuk bisa dihukumi kufur dia harus menampakkan ibadah itu, yaitu dengan mengucapkan lewat lisan untuk menampakkan keyakinan ini, karena ini adalah ibadah hati yang samar. Jadi orang ini telah melakukan qiyas bathil, ini karena dia tidak memahami makna tauhid dan makna ibadah, sehingga dia menjadikan tahakum, yang merupakan ibadah, seperti bersumpah dengan selain Allah, yang ini merupakan lafazh syirik dan bukan ibadah.
Dan bisa saja dia mengatakan, lalu mengapa terkadang ulama menjadikan sumpah dengan nama Allah sebagai ibadah? Jawabannya; Ulama menjadikan sumpah dengan nama Allah sebagai ibadah karena sumpah ini dibarengi dengan ibadah ta’zhim (pengagungan), karena sumpah ketika menggunakan nama Allah, maka dia tahu bahwa Allah itu agung sehingga berhak untuk bersumpah menggunakan nama-Nya, sehingga dia pun bersumpah menggunakan nama-Nya, sehingga ini menjadi ibadah karena dibarengi ibadah ta’zhim, kerena itu para ulama mengatakan bahwa siapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia telah jatuh ke dalam syirik asghar dan tidak keluar dari millah hingga dia meyakini apa yang dia jadikan sumpah itu memang berhak untuk dijadikan sumpah, dan para ulama menetapkan syarat untuk bisa mentakfirnya, dia menampakkan pengagungan (ta’zhim) terhadap apa yang dia jadikan sumpah, yang berarti mengalihkan badah ta’zhim kepada selain Allah, karena ibadah ini adalah ibadah hati yang samar, andai ada seseorang yang bersumpah dengan selain nama Allah dan menampakkan sikap ta’zhim terhadap apa yang dia jadikan sumpah maka dia menjadi seorang yang musyrik kepada Allah dari sisi uluhiyah, dan illah (alasan) syiriknya di sini adalah dia menampakkan ibadahnya, sehingga kita tidak perlu datang dan bertanya apakah kamu meyakininya atau tidak meyakininya? Begitu juga tahakum, dia adalah ibadah zhahirah seperti sujud dan thawaf, sehingga siapa yang mengalihkannya kepada selain apa yang disyariatkan Allah maka dia kafir, dan ini bukan ibadah hati yang samar seperti ta’zhim yang membutuhkan penampakan lewat ucapan lisan.
Sisi kedua: telah menjadi hal ma’lum bahwa bersumpah dengan nama selain Allah tidak dilarang di awal permulaan Islam, kemudian datanglah nash-nash setelah itu yang melarang sumpah dengan selain nama Allah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian” diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Lalu bagaimana mungkin mengkiyaskan sesuatu yang tidak dilarang di awal Islam dengan sesuatu yang tidak sah Islam seseorang kecuali dengannya, yaitu kufur kepada seluruh thaghut dan seluruh hukum kecuali hukum Allah dan Rasul-Nya, yaitu dengan tidak bertahakum kepadanya.
Kemudian kita katakan; maka qiyas bathil ini mengharuskan bahwa kaum muslimin pada waktu sebelum turunnya ayat-ayat yang melarang dari tahakum kepada thaghut, maka pada saat itu mereka boleh untuk bertahakum kepada para dukun dan ahlul-kitab yang bejat dan thaghut-thaghut mereka, karena tahakum itu seperti sumpah menurut mereka yang berpendapat seperti ini.
Syubhat keempat: Yaitu apa yang disandarkan oleh sebagian orang dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa ketika berkata; “Dan mereka, orang-orang yang menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai arbab, di mana orang-orang ini menaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan, mereka menjadi dua golongan.
Yang pertama: orang-orang yang mengetahui bahwa mereka telah mengganti dienullah lalu mengikuti mereka di atas penggantian ini, sehingga meyakini kehalalan apa yang Allah haramkan dan keharaman apa yang Allah halalkan, padahal mereka tahu bahwa para rahib ini telah menyelisihi dien Rasul, maka ini kufur.
Yang kedua: keyakinan mereka dan iman mereka terhadap penghalalan apa yang haram dan pengharaman apa yang halal benar-benar ada, akan tetapi mereka hanya menaati para rahib ini dalam maksiat kepada Allah sebagaimana seorang muslim melakukan maksiat dengan tetap meyakini bahwa itu adalah maksiat, maka orang-orang yang seperti ini memiliki hukum sebagaimana para pelaku dosa lainnya.”
Bantahan:
Kita katakan; Sesungguhnya orang-orang yang bersandar kepada perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas tidak memahami dan tidak membedakan antara taat syirik dan taat maksiat, taat maksiat adalah seseorang yang menaati makhluk dalam perbuatan dosa dengan keyakinan bahwa perbuatan dosa ini adalah haram, maka ini termasuk taat maksiat dan tidak mengeluarkan pelakunya dari millah, kecuali jika pelakunya sampai meyakini itu atau menghalalkannya (istihlal), adapun taat syirik adalah seseorang mengikuti makhluk atau menaatinya dalam perbuatan syirik, misal dikatakan kepadanya ‘sujudlah kamu ke patung itu’ lalu dia bersujud, atau ‘sembelihlah untuk jin’ lalu dia menyembelih, atau ‘pergilah dan mintalah hukum kepada selain syariat Allah’ lalu dia pergi dan bertahakum, maka ini dianggap taat syirik dan pelakunya adalah musyrik kepada Allah walau dia tidak meyakini dan menghalalkannya. Maka yang disinggung oleh Ibnu Taimiyyah rahimahulllah adalah taat maksiat dan bukan taat syirik. Ini adalah bantahan pertama.
Bantahan kedua:
Bahwa terdapat perbedaan antara ketaatan dan tahakum, maka taat terkadang adalah maksiat dan terkadang juga syirik, seperti yang kita jelaskan pada bantahan pertama. Adapun Tahakum, maka itu adalah ibadah murni sebagaimana nadzar dan thawaf, yang siapa mengarahkannya kepada selain Allah dan dan syariat-Nya maka dia adalah musyrik kepada Allah. Dan ini adalah apa yang telah dijelaskan oleh para ulama – rahimahumullah – di dalam kitab-kitab dan surat-surat mereka.
Syaikh Abdul Lathif ibn Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaikh mengatakan; “Siapa yang bertahakum kepada selain kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam setelah mengenalnya, maka dia kafir.”
Syubhat kelima: adalah perkataan mereka yang mengatakan apabila hukum ini, yang kalian akan bertahakum kepadanya menyelisihi hukum Allah, maka tidaklah boleh berhukum kepadanya, namun apabila sesuai dengannya, seperti hukum keadilan untuk mengembalikan harta, maka itu boleh.
Tidak diragukan, bahwa perkataan ini adalah bathil ditinjau dari dua sisi:
Sisi pertama: Bahwasanya kita tidak melihat kepada hasil hukumnya, apakah itu adil atau zhalim, akan tetapi kita melihat kepada pekerjaan dan latar belakangnya, yang mana yang terjadi bahwa dia akan bertahakum kepada keadilan itu melalui jalan thaghut itu, karena itu ketika Allah berfirman;
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
“Mereka hendak berhukum kepada thaghut” [An Nisa: 60], maksudnya adalah Ka’ab ibn al-Asyraf, yang menjadi sebab kekafiran adalah tahakum kepadanya dan melimpahkan persengketaan kepadanya, dan yang menjadi sebab kekafiran bukanlah karena Ka’ab ibn al-Asyraf tidak memutuskan hukum dengan adil karena dia mengambil suap.
Sisi Kedua: Bahwa kita tidak melihat kepada hak si hamba dan apakah dia akan mendapatkan putusan dengan adil atau dengan dzalim, akan tetapi kita melihat kepada hak Allah Jalla Jalaluh yaitu tauhid dengan kufur kepada thaghut dan tidak tahakum kepadanya, mengkafirkannya dan menghati-hatikan manusia darinya, maka bagaimana kalian menghati-hatikan manusia dari thaghut sedangkan kalian adalah orang pertama yang tahakum kepadanya dan menyelesaikan persengketaan padanya.
Syubhat keenam: Perkataan mereka yang mengatan bahwa tidak ada penguasa syar’i yang akan mengembalikan hakku, dan aku terdesak untuk melakukan itu.
Bantahan: Ini dibantah lewat dua hal:
Hal pertama: Bahwa kita memperingatkan orang yang mengatakan perkataan ini dengan firman Allah Ta’ala:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Yang demikian itu disebabkan karena mereka lebih mencintai kehidupan di dunia daripada akhirat, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” [An-Nahl: 107].
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata di dalam risalahnya ‘Kasyfu Syubuhat’ di dalam akhir risalahnya seputar ayat ini; “Dengan gamblang Allah menjelaskan bahwa kekufuran dan adzab ini bukanlah disebabkan i’tiqad (keyakinan) atau kebodohan, atau kebencian terhadap dien, atau cinta kepada kekufuran, akan tetapi sebabnya tidak lain adalah ingin mengambil secuil dunia, lalu dia mengutamakannya atas dien.”
Maka tidak boleh bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mendahulukan kepentingan dunia atas dien, baik itu dengan menuntut jabatan, kepemimpinan, atau karena berusaha untuk tidak kehilangan dunia atau harta, karena tujuan menjaga dien itu lebih diutamakan dari tujuan menjaga harta, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
تعس عبد الدينار وعبد الدرهم , وعبد الخميصة , إن أعطي رضى , وإن لم يعط سخط . . (رواه البخاري) .
“Celakalah hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian, jika diberi dia ridha jiga tidak diberi dia murka…” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari]. Dan Allah berfirman di dalam surat At-Taubah:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” [At-Taubah: 24]. Maka perhatikanlah – semoga Allah merahmatimu – bagaimana Allah mencela mereka karena sebab duniawi ini, yang mereka bergantung kepadanya dan meninggalkan jihad.
Maka pertanyaannya di sini: Yang meninggalkan tauhid demi delapan hal lebih parah, atau apakah yang meninggalkan jihad? Maka jika Allah tidak mengudzur orang yang meninggalkan jihad karena disebabkan delapan hal ini, lalu bagaimana mungkin orang yang meninggalkan tauhid karena hal ini diudzur? Begitulah, dan Allah tidak mengudzur kecuali mukrah (orang yang dipaksa) untuk mengucapkan kekufuran, dan mukrah itu adalah dia diperlakukan sebagaimana Ammar ibn Yasir – radhiyallahu ‘anhu – diperlakukan, dan ini masuk ke dalam bab rukhshah (keringanan), dan mengambil ‘azimah (hukum asal) itu lebih utama sebagaimana dijelaskan di dalam hadits-hadits.
Berkata Syaikh Abdurrahman ibn Hasan Alu Syaikh rahimahullah, menukil dari al-‘Allamah al-Hijar Syaikh Muhammad ibn Ahmad al-Hifdzi dia berkata; “Waspadalah waspadalah, wahai orang-orang yang berakal, bertaubatlah bertaubatlah wahai orang-orang yang lalai, karena sesungguhnya fitnah terjadi pada ashluddien, bukan pada furu’nya, tidak juga pada dunia, maka wajib menjadikan keluarga, pasangan, harta, perdagangan dan tempat tinggal sebagai pelindung dien dan tebusannya, dan bukan menjadikan dien sebagai tebusan dan pelindung itu semua, Allah berfirman;
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” [At-Taubah: 24]. Maka fikirkanlah dengan cerdas dan renungkanlah, sesungguhnya Allah mewajibkan untuk menjadikan Allah, Rasul-Nya dan jihad lebih dicintai dari delapan hal ini semuanya, terlebih dari salah satunya, atau lebih, atau sesuatu yang lebih rendah, tentu hal ini lebih berhak, maka hendaknya dien adalah sesuatu yang paling berharga dan yang paling utama yang engkau punya”. [selesai perkataannya].
Hal kedua: Kami ingin mengingatkan orang yang berkata dengan perkataan ini dengan firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ .مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ .إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ .
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzariyat: 56-58].
Allah Ta’ala menjelaskan di dalam ayat ini tujuan yang untuknya hamba diciptakan, yaitu untuk beribadah dan Dia menanggung rizki mereka, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
إن الله تعالى يقول : يا ابن آدم تفرغ لعبادتي أملأ صدرك غنى , وأسد فقرك , وإن لا تفعل ملأت يدك شغلاً , ولم أسد فقرك (رواه أحمد).
“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman; ‘Hai Bani Adam, penuhilah waktumu untuk beribadah kepadaku, maka akan Aku penuhi dadamu dengan kecukupan, dan Aku tutup kefakiranmu, jika kamu tidak melakukannya, maka akan aku penuhi tanganmu dengan kesibukan, dan tidak aku tutup kefakiranmu”. [diriwayatkan oleh Ahmad].
Adapun perkataan bahwa mereka terdesak (dlarurat) melakukannya, maka ini bathil dari dua sisi:
Sisi Pertama: Orang ini rancu dan tidak membedakan antara terdesak (idlthirar/ dlarurat) dengan terpaksa (ikrah), dia memberikan udzur kepada manusia apabila terdesak untuk melakukan kekufuran, tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bathil karena dlarurat (terdesak) tidak boleh menjadi alasan kecuali untuk melakukan maksiat, adapun kekufuran maka tidak boleh bagi manusia untuk melakukannya dengan dalih terdesak, tetapi yang boleh hanyalah ikrah (terpaksa) karena khawatir dibunuh atau disiksa. Adapun dlarurat (terdesak), maksudnya adalah ketika manusia terdesak untuk memilih melakukan salah satu mafsadat (kerusakan) yang paling ringan dalam rangka menghilangkan mafsadat yang lebih besar. Allah berfirman;
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ .
“Tetapi barangsiapa terdesak, bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Al-Baqarah: 173].
Sedangkan ikrah (paksaan) adalah: Siksaan terhadap diri yang mengarah kepada kematian, maka dalam keadaan seperti ini Allah membolehkan bagi kita untuk mengatakan kalimat kekufuran. Ini kalau kita kumpulkan pengertian terpaksa dan terdesak, karena antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan.
Berkata Syaikh Hamud ibn ‘Atiq rahimahullah; “Jika ditanyakan apa ikrah yang membolehkan untuk berbicara kekufuran? Maka jawabnya, kita katakan sebagaimana sebab turunnya ayat tersebut yang paling jelas dalam menafsirkan makna ikrah, Al-Baghawi rahimahullah berkata; “Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang firman Allah Ta’ala;
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ
“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman” [An-Nahl: 106] tentang Ammar, yang ketika itu orang-orang musyrik mengambilnya dan ayahnya; Yasir, dan ibunya; Sumayyah, Shuhaib, Bilal, Khabbab, dan Salim, lalu menyiksa mereka. Adapun Sumayyah, orang-orang musyrik mengikatnya di antara dua unta lalu menusuk kemaluannya dengan tombak hingga membunuhnya, begitu juga suaminya, mereka berdua adalah orang pertama yang dibunuh di dalam Islam. Sedangkan Ammar, maka dia melakukan apa yang mereka minta dengan lisannya secara terpaksa, mereka menutupnya di dalam sumur Maymun. Orang-orang musyrik mengatakan kepadanya: Kufurlah kepada Muhammad, maka Ammar mengikuti perkataan dengan terpaksa. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam diberi kabar bahwa Ammar telah kafir, Nabi pun mengatakan; ‘Tidak, sesungguhnya Ammar telah dipenuhi keimanan dari ubun-ubun hingga kakinya, iman itu telah bercampur dengan daging dan darahnya’. Maka Ammar datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan menangis, Nabi pun bertanya; “Apa yang terjadi denganmu?” Ammar menjawab; “Keburukan yang Rasulallah, aku telah berbuat buruk kepadamu dan menyebut tuhan-tuhan mereka dengan kebaikan.” Nabi bertanya; “Bagaimana engkau dapati hatimu?” Ammar menjawab; “Tenang dengan keimanan.” Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengusap air matanya dan mengatakan kepadanya; “Jika mereka menyakitimu lagi maka ulangi apa yang engkau katakan.” Maka turunlah ayat ini. Dan disebutkan oleh Mujahid bahwa terdapat sekelompok manusia yang keluar untuk berhijrah, lalu mereka dihadang oleh orang-orang Quraisy di jalan, lalu orang-orang ini kafir secara terpaksa, maka turunlah ayat ini. Dan dari Muqatil, bahwa ayat ini turun atas seorang budak yang dipaksa oleh majikannya untuk kafir. [selesai].
Maka siapa yang terjadi atasnya seperti apa yang terjadi atas orang-orang ini, maka dibolehkan baginya apa yang dibolehkan bagi mereka, dan sesungguhnya Ammar tidak mengatakan kekafiran kecuali setelah ayah dan ibunya dibunuh, dan setelah mereka memukulinya dan menutupnya di dalam sumur. Begitu juga orang-orang yang dicegat oleh kaum musyrikin, dan budak yang dipaksa oleh majikannya, dan yang lainnya, yang disebutkan oleh para Salaf tentang ayat ini, semuanya tidak mengatakan kekufuran kecuali setelah dipukul atau diancam, karena itu ketika sebagian orang beralasan di hadapan Imam Ahmad dalam masalah mihnah (yaitu ujian khalqul-Quran) dengan hadits Ammar, maka Imam Ahmad rahimuhullah pun berkata kepada mereka; “Sesungguhnya Ammar telah mereka pukuli, sedangkan kalian baru dikatakan kepada kalian ‘kami akan memukul kalian’.”
Sisi Kedua: Yaitu dengan memberikan pertanyaan dan permisalan kepada orang yang berkata dengan perkataan ini, seandainya ada seorang raja yang menyembah berhala, dia menguasai manusia dan merampas harta mereka dan tidak mau mengembalikannya kepada mereka, lalu dia berkata, kami tidak akan mengembalikan harta kalian hingga kalian mau berkurban dan thawaf kepada kuburan ini. Pertanyaannya adalah; bolehkah baginya dalam keadaan seperti ini untuk berkurban kepada berhala, atau thawaf di sekitarnya, atau bersujud kepadanya, hanya karena dia tedesak untuk mengembalikan hartanya? Apakah perbuatannya akan menggugurkan hukum syirik yang akan mengenainya? Sebuah pertanyaan yang kita inginkan jawabannya dari mereka.
Sisi Ketiga: Seandainya kita setuju dan mengatakan bahwa hilangnya harta masuk ke dalam perkara ikrah, maka tidak diragukan lagi ketika kita menggabungkan nash-nash maka akan jelas bagi kita hukum syar’i tentang orang yang dipaksa kapan dia mendapat udzur dan kapan tidak.
Nash yang pertama adalah firman Allah Ta’ala;
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ
“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman” [An-Nahl: 106].
Ayat ini turun kepada Ammar ibn Yasir radhiyallahu ‘anhu, ketika dia diambil oleh orang-orang musyrik, lalu menyiksanya hingga dia mengatakan kalimat kekufuran.
Sedangkan nash yang kedua adalah firman Allah Ta’ala;
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا .
“Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat) bertanya, “Bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah).” Mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa`: 97].
Ayat ini turun, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam shahihnya dari Ibnu ‘Abbas, dalam tafsir ayat ini, ayat ini turun kepada sekelompok kaum muslimin yang keluar bersama orang-orang musyrik dalam Perang Badar, sehingga memperbanyak jumlah mereka, sehingga terbunuhlah dari mereka siapa yang terbunuh, dan tertawanlah siapa yang tertawan dari kaum muslimin, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memperlakukan mereka seperti memperlakukan orang kafir, dengan memerintahkan setiap yang tertawan dari mereka untuk menebus dirinya.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam shahihnya, dari haddits Muhammad ibn Abdurrahman Abu al-Aswad, dia berkata; “Telah ditetapkan kepada penduduk Madinah untuk mengirim sekelompok pasukan, maka aku mendaftarkan diri ke dalamnya, lalu aku bertemu Ikrimah mantan budak Ibnu Abbas dan memberitahukannya, maka dia melarangku dengan keras kemudian berkata; “Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, bahwa ada sekelompok orang dari kaum muslimin yang bersama kaum musyrikin dan memperbanyak jumlah mereka untuk menyerang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka datanglah anak panah dan ditembakkanlah ia dan mengenai salah satunya hingga membunuhnya, maka Allah menurunkan firman-Nya “Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri”.”
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir didalam tafsirnya, dari as-Suddi bahwasanya dia berkata; “Ketika al-Abbas, ‘Aqil dan Naufal ditawan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada al-‘Abbas: “Tebuslah dirimu dan anak pamanmu” maka dia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, bukankah kami shalat menghadap kiblatmu dan bersyahadat dengan syahadatmu?’ Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab; “Wahai Abbas sesungguhnya kalian telah mendebat maka kalian terbantahkan” kemudian beliau membaca firman Allah “Bukankah bumi Allah itu luas…”.”
Dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam shahihnya dalam kitab Jihad – Bab Tebusan Kaum Musyrikin – dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dia berkata; “Didatangkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam harta dari Bahrain, maka al-Abbas datang menemuinya dan berkata; “Ya Rasulullah, berilah aku, sesungguhnya aku telah menebus diriku dan juga telah menebus ‘Aqil.” Maka Nabi berkata; “Ambillah”. Maka beliau memberikannya pada bajunya.”
Maka melalui nash-nash ini kita mengetahui bahwa siapa yang tahu – atau kuat dalam dugaannya – bahwa dia akan dipaksa pada suatu hari nanti untuk melakukan kekufuran atau mengatakannya, kemudian dia melakukannya, padahal sebelumnya dia mampu untuk keluar dari negeri tempat di mana dia dipaksa, atau lari ke negeri lainnya dengan berhijrah atau lari ke negeri lainnya hingga tidak terjatuh ke dalam fitnah ini dan tidak melakukannya, maka dia tidak diudzur dengan alasan ikrah. Berbeda dengan mereka yang dikuasai oleh orang-orang kafir dan dia tidak bisa melepaskan diri dari mereka hingga mereka dipaksa untuk mengatakan kekafiran. Masalah ini harus diperhatikan dan direnungkan.
Imam Sulaiman ibn Abdullah ibn Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab rahimahumullah berkata di dalam risalah yang bernama ‘Hukmu Muwalati Ahli Syirk’: “Dalil Keenam: firman Allah Ta’ala :
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat) bertanya, “Bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah).” Mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa`: 97].
Apabila ada yang bertanya; ‘Kenapa ikrah (paksaan) untuk keluar (ikut dalam perang di barisan kaum Musyrikin_pent) tidak bisa menjadi udzur bagi mereka yang terbunuh dalam perang Badar? Maka dijawab; ‘Tidak menjadi udzur, karena mereka dari awal masalah tidak mendapat udzur ketika tinggal bersama orang-orang kafir, sehingga tidak juga mendapat udzur setelah itu dengan ikrah, karena sebab itu semua adalah mereka tinggal bersama mereka dan meninggalkan hijrah”.
Maka perhatikanlah wahai saudaraku akan kalimat ini yang berasal dari ulama mulia, sesungguhnya kalimat ini cukup dan mengobati dalam menjelaskan kapan seseorang bisa diudzur dengan ikrah dan kapan tidak.
Berkata Qadhi ‘Iyadh rahimahullah di dalam al-Madarik (2/719): “Abu Muhammad ibn Al-Karrani ditanya tentang orang yang dipaksa oleh Bani Ubaid antara masuk ke dalam ajakan mereka atau dibunuh? Dia berkata; ‘Dia harus memilih bunuh, dan tidak ada seorang pun yang diudzur dengan ini kecuali orang yang baru pertama masuk ke negeri itu lalu dia ditanya, jika dia memerintah mereka, maka wajib lari setelah itu, dan tidak ada seorang pun diudzur dengan ketakutan setelah sebelumnya dia tinggal, karena tinggal ditempat yang mana penduduknya diminta untuk menggugurkan syariat adalah tidak boleh, namun sebab para ulama dan ahli ibadah menetap di situ hanyalah untuk memberikan penjelasan kepada mereka supaya mereka tidak membiarkan kaum muslimin di tengah musuh mereka sehingga akan menyesatkan mereka dari diennya.”
Sisi keempat: melalui tanya jawab seperti sebelumnya; seandainya di sana terdapat ribuan kaum muslimin yang hidup di suatu negeri yang diatur dengan hukum kafir, orang-orang kafir menguasai mereka dan merampas harta mereka, lalu pemimpin negeri ini berkata; Kami tidak akan mengembalikan harta kalian hingga kalian mau menghina Allah, atau menghina Rasulullah, atau menghina Dienul-Islam, atau kalian menyembelih dan mengorbankan, atau hal-hal lain yang semisalnya, lalu orang-orang ini pun melakukannya dan mengikuti seruan mereka, dan mereka tinggal bertahun-tahun tidak masuk ke mahkamah penguasa ini untuk menuntut harta mereka hingga mereka menghina Allah. Pertanyaannya, apakah mereka diudzur karena ikrah? Jawabannya tentu tidak. Maka kita katakan, apa bedanya antara sebuah umat yang seluruh anggotanya dari awal hingga akhir menghina Allah dengan hinaan yang terang-terangan dan melakukan perbuatan kekafiran yang mengeluarkan dari millah, dan antara umat yang seluruh anggotanya dari awal hingga akhir bertahakum kepada thaghut dan melakukan perbuatan kekafiran ini yang mengeluarkan dari millah?
Dan sebagai penutup kami katakan; Terkadang ada yang mengatakan; lalu apa solusinya kalau begitu untuk selamat dari fitnah ini dan musibah? Kami jawab:
Solusi pertama: Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ .
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Al-Baqarah: 218].
Allah juga berfirman;
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلأجْرُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ.
“Dan orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizalimi, pasti Kami akan memberikan tempat yang baik kepada mereka di dunia. Dan pahala di akhirat pasti lebih besar, sekiranya mereka mengetahui.” [An-Nahl: 41]
Allah juga berfirman;
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ .
“Kemudian Rabbmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nahl: 110]
Dan Allah juga berfirman;
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الأرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً
“Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan kelapangan” [An-Nisa: 100]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya; “As-Sa’ah” (Kelapangan) yakni rizqi, dan ini tidak hanya dikatakan oleh satu orang, di antaranya adalah Qatadah, di mana dia mengatakan dalam menafsirkan “niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan kelapangan” yakni dari kesesatan menuju petunjuk, dari kekurangan menuju kecukupan.”
Ini adalah solusi pertama dari berbagai solusi terhadap masalah seperti fitnah ini, yang tidak lain adalah hijrah, dan hijrah itu dilakukan dari Darul-Kufr menuju Darul-Islam, dan Darul Kufr sebagaimana yang didefinisikan para Ulama adalah negeri yang dikungkungi dengan hukum-hukum kafir.
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata di dalam Ahkam Ahli Dzimmah; “Jumhur berkata, Darul-Islam adalah yang ditinggali oleh kaum Muslimin dan berjalan di atasnya hukum-hukum Islam, dan adapun jika tidak berjalan hukum Islam maka dia tidak menjadi Darul Islam, walau dia berdampingan dengannya.”
Dan berkata Ulama Dakwah Nejed – rahimahumullah; “Adapun negeri yang dihukumi bahwa ia itu negeri kufur, maka Ibnu Muflih telah berkata; ‘Dan setiap negeri yang berkuasa atasnya hukum-hukum kaum muslimin maka itu adalah Darul-Islam, dan jika berkuasa atasnya hukum-hukum kufur maka itu Darul-Kufr, dan tidak ada negeri selain keduanya.”
Dan berkata Syaikh Sulaiman ibn Sahman an-Najdi rahimahullah dalam penjelasan apabila orang-orang kafir menguasai negeri kaum muslimin dan menjalankan hukum-hukum kafir di dalamnya, maka sesungguhnya dia menjadi negeri kafir karena berjalannya apa yang menjadi patokan di dalamnya, dia berkata:
“Apabila orang-orang kafir menguasai negeri islam dan rasa takut menyelimuti.
Lalu dijalankan di dalamnya hukum-hukum kafir secara jelas dan menampakkannya tanpa menunggu
Lalu menghapus hukum-hukum syariat Muhammad dan tidak menampakkan Islam di dalamnya hingga menghilang
Maka ini adalah Darul Kufr menurut para peneliti dan mereka yang memiliki pengetahuan tentang dien
Dan tidaklah semua orang yang ada di dalamnya disebut kafir, karena berapa banyak orang di dalamnya di atas keshalihan amal”
Syaikh Muhammad ibn Ibrahim Alu Syaikh ditanya apakah wajib untuk hijrah dari negeri kaum Muslimin yang menjalankan undang-undang buatan? Maka dia menjawab; “Negeri yang menerapkan undang-undang buatan (qanun) bukanlah negeri Islam, wajib untuk hijrah darinya, begitu juga jika terlihat atheisme tanpa ada pengingkaran dan tidak dirubah maka wajib hijrah, maka (negeri itu) negeri kufur dengan menyebarnya kekafiran dan terlihat jelasnya. Ini adalah negeri kufur.”
Solusi Kedua: Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya pada Kitab Al-Iman, Bab ‘Termasuk bagian dari dien lari dari fitnah’ dari hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
يوشك أن يكون خير مال المسلم غنماً يتبع بها شعف الجبال ومواقع القطر يفر بدينه من الفتن
“Hampir tiba masanya sebaik-baik harta seorang muslim adalah kambing yang dia ikuti di puncak-puncak gunung dan tempat turunnya hujan, dia lari menyelamatkan diennya dari fitnah.”
Solusi ketiga: Hendaknya seorang muslim muwahhid memilih dan mencari negeri atau kampung yang tidak terlihat di dalamnya simbol-simbol kekafiran tidak juga hukum-hukum kafir, lalu dia pergi ke sana untuk tinggal di sana menyelamatkan dien dan dunianya.
Solusi keempat: Yakni sekelompok orang yang belum berhijrah belum juga mengasingkan diri, seperti penduduk kota atau penduduk desa yang mereka berada di darul-Kufr. Hendaknya mereka sepakat untuk memilih dari mereka seorang yang berilmu, atau imam, atau qadhi, yang akan memutuskan di antara mereka dengan hukum syar’i, lalu mereka berjanji untuk memutuskan seluruh masalah mereka kepadanya. Dan perintah untuk mengikuti qadhi ini berasal dari imam umum atau orang yang diserahkan kepadanya oleh imam.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata; “Wajib bagi pemimpin untuk menentukan seorang qadhi di setiap negeri atau di wilayah yang kosong tanpa qadhi, dan boleh bagi pemimpin untuk menyerahkan penunjukan qadhi ini kepada seorang pemimpin wilayah atau amir negeri, jika dia orang yang diserahi ini tidak layak untuk menjadi qadhi, karena dia hanya seorang wakil saja, dan begitu juga jika diserahkan kepada salah seorang muslim pemilihan qadhi, maka dia tidak boleh menunjuk ayahnya atau anaknya, sebagaimana dia tidak boleh menunjuk dirinya sendiri, tapi seandainya dikatakan kepada penduduk kampung, pilihlah salah seorang lelaki dari kalian dan serahkanlah masalah qadha. Menurut Ibnu Kajj, maka itu boleh menurut pendapat yang kuat.”
Dan berkata Imam Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni: “Jika Imam melimpahkan kepada seseorang wewenang qadhi, maka itu diperbolehkan karena boleh baginya untuk memikulnya dan boleh juga baginya untuk mewakilkannya sebagaimana jual beli, jika diserahkan kepadanya wewenang memilih qadhi maka diperbolehkan, dan tidak boleh dia memilih dirinya, atau ayahnya, atau anaknya, sebagaimana jika diwakilkan kepadanya harta sedekah maka tidak boleh baginya untuk mengambilnya atau menyerahkan kepada dua golongan ini. Namun bisa jadi dia boleh memilih dua golongan ini (bapak atau anak) jika keduanya memang pantas untuk memikulnya karena keduanya masuk ke dalam keumuman orang yang diizinkan untuk dia pilih, dan dengan kemampuannya ini mereka berdua seolah seperti orang lain.”
Inilah empat solusi untuk keluar dari fitnah ini. Kita berharap kepada Allah agar menjauhkan kita dan melindungi kita dari fitnah baik yang zhahir maupun yang bathin, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dan kami tutup risalah ini dengan perkataan seorang ulama di zamannya, Syaikh Sulaiman ibn Sahman rahimahullah ketika dia ditanya tentang tahakum kepada thaghut dengan dalih dlarurat (terdesak). Beliau mengatakan:
“[Kedudukan Kedua]: Dikatakan, apabila engkau telah mengetahui bahwa tahakum kepada thaghut adalah kekafiran, dan sungguh Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya bahwa kekafiran itu lebih besar dari pembunuhan, Allah berfirman; “Sedangkan fitnah lebih besar daripada pembunuhan” [Al-Baqarah: 217] dan Allah berfirman “Dan fitnah itu lebih berat dari pembunuhan” [Al-Baqarah: 191]. Maksud fitnah adalah kekafiran, seandainya penduduk sebuah kampung dan kota saling membunuh hingga mereka binasa, itu semua lebih ringan daripada mereka menetapkan di muka bumi seorang thaghut yang memutuskan hukum dengan selain syariat Islam, yang Allah telah mengutus dengannya Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
[Kedudukan Ketiga] Kita mengatakan apabila tahakum itu kekafiran, sedangkan persengketaannya hanya untuk masalah dunia, maka bagaimana boleh bagimu untuk menjadi kafir hanya karena itu? Maka sesungguhnya tidaklah seseorang itu beriman hingga dia menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selainnya, dan hingga Rasul itu lebih engkau cintai daripada anak dan seluruh manusia, seandainya duniamu hilang seluruhnya tetap engkau tidak boleh untuk bertahakum kepada thaghut demi hal itu, seandainya engkau dlarurat (terdesak) karena sesuatu dan mengharuskanmu untuk memilih antara harus bertahakum kepada thaghut atau melepaskan duniamu, maka wajib bagimu untuk melepaskannya dan tidak boleh bagimu untuk bertahakum kepada thaghut.” [selesai].
Maka hendaknya bagi setiap muslim dan muslimah, mukmin dan mukminah, dari mereka yang ingin melindungi dien dan tauhidnya, untuk bertahakum di dalam setiap persengketaannya dan masalahnya kepada ulama syariat yang akan memutuskan hukumnya dengan kitab Rabb mereka dan sunnah Nabi mereka shallallahu alaihi wa sallam, dan tidak bertahakum kepada para thaghut itu, karena tahakum kepada para thaghut ini berarti beriman kepada mereka dan bentuk pengalihan ibadah kepada mereka, dan hendaknya seseorang itu takut kelak di hari Kiamat dia menjadi pengikut para thaghut itu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
يجمع الله الناس يوم القيامة فيقول من كان يعبد شيئاً فليتبعه , فيتبع من كان يعبد الشمس الشمس , ويتبع من كان يعبد القمر القمر , ويتبع من كان يعبد الطواغيت الطواغيت (رواه البخاري) .
“Allah akan mengumpulkan manusia pada hari Kiamat dan mengatakan ‘siapa yang menyembah sesuatu maka ikutilah’, sehingga siapa yang menyembah matahari akan mengikuti matahari, siapa yang menyembah bulan akan mengikuti bulan, dan siapa yang menyembah thaghut maka akan mengikuti thaghut”. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari].
Ya Allah, hidupkanlah kami dalam keadaan muslim, matikanlah kami dalam keadaan muslim, dan kumpulkanlah kami dengan kaum shalihin, tanpa terhina dan tanpa terkena fitnah. Dan semoga shalawat terlimpah kepada Nabi al-Amin, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan juga atas keluarga dan seluruh shahabatnya.
****
Alih Bahasa: Usdul Wagha
Muraja’ah: Abu Sulaiman Al Arkhabiliy
0 comments:
Post a Comment