Friday, February 19, 2016

BANTAHAN KEPADA ORANG YANG LEGALKAN TAHAKUM KEPADA THAGHUT SAAT DLARURAT


Ini merupakan satu pasal dari kitab bantahan Syaikh Ahmad Hamud Al Khalidiy terhadap Abdullah Bin Muhammad Al Qarniy.

Judul Asli

“At Tibyaan Limaa Waqa’a Fi “Adl Dlawaabith” Mansuuban Li Ahli As Sunnah Bilaa Burhaan”

Ditulis oleh : Ahmad bin Hamud Al Khalidiy

Dan Ditaqdim Oleh :

Syaikh Hamud ‘Uqla Asy Syu’abiy dan Syaikh Ali Al Khudlair

Alih Bahasa : Mowahhed Militant

Muraja’ah Terjemahan: Abu Sulaiman

Pasal : Perbedaan Antara Dlarurat Dengan Ikrah (Paksaan) Terhadap Kekafiran.

Sebagai bantahan terhadap perkataan penulis: (Dan ini tidak memestikan bahwa setiap orang yang tahakum (meminta putusan hukum) kepada mahkamah-mahkamah yang menerapkan undang-undang buatan manusia itu menjadi kafir. Akan tetapi bisa jadi seorang muslim itu dlarurat untuk mengambil hak-haknya atau hal lainnya dengan cara tahakum (meminta putusan hukum) kepada mahkamah-mahkamah itu tanpa adanya keridhaan dia terhadapnya, maka dia tidak menjadi kafir akan tetapi hukumnya adalah hukum orang yang dlarurat). [hal.174]

Jawab :

Sang penulis telah membantah dirinya sendiri di mana dia berkata dalam tempat yang lain: (Dan atas dasar ini -maksudku pensyaratan ikrah [keterpaksaan] dalam menampakkan kekafiran- dalilnya banyak sekali, di antaranya – di mana ini adalah yang paling jelas dan paling nampak- adalah firman Allah Ta’ala :

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya masih tenang dengan keimanan akan tetapi barang siapa yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka baginya kemurkaan dari Allah dan baginya adzab yang pedih. Itu dikarenakan mereka lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat dan sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kaum yang kafir.” (An Nahl: 106-107)

Allah tidak mengudzur seorangpun dalam kekafiran yang nampak selain ikrah. Maka barangsiapa yang menampakkan kekafiran sedangkan dia tidak dipaksa maka dia dipastikan menjadi kafir karena pelapangan dadanya untuk kekafiran, karena adanya keterkaitan antara dzahir dan bathin. Maka tidak ada udzur sama sekali bagi seorangpun dalam hal itu selain ikrah. Sama saja apakah kekafirannya itu karena kecintaan dia terhadap tanah air, atau keluarganya, atau kerabatnya, atau karena dia memperkirakan akan adanya gangguan orang-orang kafir dan lain sebagainya. . . sampai akhir) [hal.273].

Lihatlah kepada kontradiksi yang nampak antara dua tempat ini! Di mana penulis menjadikan dlarurat sebagai udzur dalam tahakum (meminta putusan hukum) kepada Thaghut! Padahal dia juga telah menuturkan ijma’ kaum muslimin yang dinukil dari Ibnu Katsir rahimahullah tentang kafirnya orang yang melakukan hal itu. [Dalam halaman yang sama 174] di mana dia berkata:

“Ibnu Katsir berkata: “Barangsiapa yang meninggalkan syari’at yang baku yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para Nabi, dan tahakum (meminta putusan hukum) kepada selainnya dari syari’at-syari’at yang telah dihapus maka dia kafir, maka apa gerangan dengan orang yang meminta putusan hukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya daripadanya [Al Qur’an]? Maka barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia telah kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin.”!

Kemudian sang penulis menjadikan dlarurat -pada tempat yang pertama- untuk pengambilan hak-hak sebagai udzur dalam kekafiran itu, ini jelas kontradiksi dengan apa yang dia sebutkan pada tempat yang kedua pada perkataannya:

(Maka tidak ada udzur sama sekali bagi seorangpun dalam hal itu selain ikrah. Sama saja apakah kekafirannya itu karena kecintaan dia terhadap tanah air, atau keluarganya, atau kerabatnya, atau karena dia memperkirakan akan adanya gangguan orang-orang kafir dan lain sebagainya)

Dia juga berdalil atas hal itu dengan perkataan Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dalam penjelasan firman-Nya Ta’ala:

إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ

“Kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya masih tenang dengan keimanan.”

Beliau rahimahullah berkata:

“Allah tidak mengudzur kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya masih tenang dengan keimanan. Adapun selain hal ini, maka dia telah menjadi kafir setelah keimanannya, sama saja dia melakukannya karena takut atau madaaraah [dalam rangka lemah lembut mencari simpati] atau karena merasa berat terhadap tanah airnya atau keluarganya atau kerabatnya atau hartanya atau dia melakukannya sambil bercanda atau tujuan-tujuan lainnya kecuali orang yang dipaksa” [118]

Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa perbedaan antara dua tempat itu adalah perbedaan lafadz saja, akan tetapi perbedaan pada hakikat kedua hal itu juga. Karena dia menetapkan bahwa dlarurat adalah udzur untuk mengambil hak hak padahal dia telah menafikan hal itu di tempat yang kedua sebagaimana perkataan dia: “tidak ada udzur sama sekali…” dan ungkapan yang setelahnya.

Apa yang dia jadikan sandaran dari perkataan Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan selainnya dan juga ayat yang dijadikan dalil oleh penulis, justru merupakan dalil terbesar bahwa siapa saja yang mengatakan atau melakukan kekafiran maka dia kafir kecuali jika dia dipaksa. Adapun orang yang meminta putusan hukum (kepada thaghut) untuk menyelesaikan hak haknya maka dia masuk dalam firman Allah Ta’ala :

ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Itu dikarenakan mereka lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat dan Allah tidak memberi petunjuk kaum yang kafir.” (An Nahl : 107)

Berkata Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah dalam risalahnya “Sabilun Najah wal Fikak“:

“Permasalahan yang ketiga:

Yaitu apa yang diudzur dari seorang laki laki yang menampakkan sikap setuju kepada kaum musyrikin atau menampakkan ketaatan kepada mereka, maka ketahuilah, bahwa menampakkan sikap setuju kepada kaum musyrikin itu memiliki tiga kondisi:

Kondisi pertama: Dia menyetujui mereka secara dzahir dan bathin. Dia tunduk kepada mereka secara dzahir dan condong kepada mereka serta mencintai mereka secara bathin, maka dia kafir keluar dari Islam. Sama saja apakah dia dipaksa untuk melakukan hal itu atau tidak dipaksa. Dia itu termasuk orang yang Allah firmankan tentangnya:

وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Akan tetapi barangsiapa yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka baginya murka dari Allah dan adzab yang pedih.”

Kondisi kedua: Dia menyetujui mereka dan condong kepada mereka akan tetapi dia menyelisihi mereka secara dzahir. Maka dia kafir juga, jika dia mengamalkan keislaman secara dzahir maka terjagalah harta dan darahnya akan tetapi dia munafiq.

Kondisi ketiga: Dia menyetujui mereka secara dzahir akan tetapi menyelisihi mereka secara bathin. Hal ini ada dua bentuk:

Yang pertama: Dia melakukan hal itu karena dia berada dalam kekuasaan mereka serta dia disiksa dan diikat oleh mereka bahkan diancam untuk dibunuh. Mereka mengatakan kepadanya: “Jika kamu tidak menyetujui kami dan menampakkan ketundukan kepada kami maka kami akan membunuhnu”. Maka dia dalam kondisi seperti ini boleh baginya untuk menampakkan sikap setuju secara dzahir akan tetapi hatinya masih tenang dengan keimanan. Sebagaimana yang terjadi atas Ammar radhiyallahu ‘anhu ketika Allah menurunkan :

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ

“Siapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya masih tenang dengan keimanan” (An Nahl: 106)

Sebagaimana juga firman Allah :

إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

“Kecuali jika kalian bertaqiyyah dari mereka” (Ali Imran: 28)

Dua ayat ini menunjukkan atas hukum ini -sebagaimana telah diperingatkan atas hal ini oleh Ibnu Katsir dalam tafsir ayat ini dalam surat Ali Imran-.

Yang kedua: Dia menyetujui mereka secara dzahir tapi menyelisihi mereka secara bathin. Akan tetapi dia tidak berada di kekuasaan mereka melainkan dia melakukannya karena tamak terhadap kepemimpinan atau harta atau cinta tanah air maka dia itu dalam kondisi ini menjadi Murtad. Tidak bermanfaat bagi dia kebenciannya secara bathin. Dia itu termasuk yang Allah firmankan tentang mereka:

ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Itu dikarenakan mereka lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat dan Allah tidak memberi petunjuk kaum yang kafir.” (An Nahl: 107).

Allah mengkabarkan bahwa yang menyebabkan mereka berbuat kekafiran itu bukan kebodohan atau kebencian mereka terhadap dien ini, atau karena kecintaan kepada kebathilan, akan tetapi bahwa dia itu menginginkan bagian dari bagian bagian dunia kemudian dia lebih mengutamakannya daripada dien. Ini adalah makna perkataan Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah.”[1] Selesai.

Berkata Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Alus Syaikh dalam risalah “Hukmu Muwalati Ahlil Isyrak”:

“Dalil yang ke empat belas:

Firman-Nya Ta’ala,

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ

“Barangsiapa yang kafir setelah dia beriman…”

Allah telah menetapkan sebuah hukum yang tidak berubah. Bahwa siapa yang berbalik dari diennya menuju kekafiran maka dia kafir, sama saja apakah dia beralasan karena takut atas diri atau harta atau keluarganya atau tidak. Sama saja apakah dia kafir secara bathin atau dzahirnya saja tanpa bathinnya. Sama saja apakah dia kafir karena perbuatan atau perkataan atau salah satu dari keduanya tanpa yang lain. Sama saja apakah karena dia tamak terhadap dunia yang dia dapatkan dari kaum musyrikin atau tidak. Maka dia kafir dalam setiap kondisi. Dia dalam bahasa kita dirampas, apabila seorang manusia dipaksa atas kekafiran dan dikatakan kepadanya: “kafirlah kamu jika tidak maka kami akan membunuhmu atau memukulimu”, atau dia ditangkap oleh kaum musyrikin terus mereka memukulinya dan dia tidak mungkin lepas dari penyiksaan itu kecuali dengan menyetujui mereka, maka boleh menyetujui mereka secara dzahir dengan syarat hatinya harus tenang dengan keimanan yakni harus tetap meyakininya. Adapun jika dia menyetujui mereka dengan hatinya maka dia kafir meskipun dia dipaksa”[2] selesai

Berkata Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman dalam risalahnya, “Haadzihi Kalimat Fi Bayan Ath Thaghut Wa Wujub Ijtinabihi”, beliau menyebutkan point yang kedua, beliau berkata:

(Dikatakan (kepadanya), jika engkau mengetahui bahwa tahakum (meminta putusan hukum) kepada Thaghut itu adalah kekafiran, padahal Allah telah menyebutkan dalam Kitab-Nya bahwa kekafiran itu lebih besar daripada pembunuhan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ

“Dan fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan” (Q.S. Al Baqarah : 217)

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ

“Dan Fitnah itu lebih dahsyat daripada pembunuhan.” (Q.S. Al Baqarah : 191)

Dan yang dimaksud dengan fitnah itu adalah kekafiran.

Sehingga andaikata para penduduk desa dan kota (yang sama-sama muslim, pen) saling berperang sampai mereka semua lenyap, maka hal itu tentu lebih ringan di sisi Allah daripada mereka mengangkat seorang Thaghut di muka bumi yang memutuskan hukum dengan menyelisihi Syari’at Islam yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah diutus dengannya.

Point yang ketiga:

Hendaknya kita katakan, jika meminta putusan hukum kepada Thaghut itu sebuah kekafiran sedangkan perselisihan yang terjadi hanya untuk tujuan dunia, maka bagaimana engkau boleh menjadi kafir untuk tujuan dunia? Karena sesungguhnya seorang manusia itu tidak dianggap beriman sampai Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya. Dan sampai Rasul lebih dia cintai daripada anaknya dan semua manusia.

Sehingga andaikata semua duniamu lenyap maka tetap tidak boleh bagimu untuk meminta putusan hukum kepada Thaghut untuk mencarinya.

Dan andaikata kondisi dlarurat mendesakmu dan dia memberimu pilihan antara meminta putusan hukum kepada Thaghut atau engkau harus mengorbankan duniamu, maka wajib atasmu untuk mengorbankan duniamu itu dan tidak boleh bagimu meminta putusan hukum kepada Thaghut. Wallahu a’lam.”[3] Selesai

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

(Sesungguhnya hal hal yang haram itu, ada yang secara pasti tidak dibolehkan darinya meskipun karena darurat atau selain darurat, seperti kesyirikan, perbuatan-perbuatan keji, dusta atas nama Allah tanpa ilmu, dan kedzaliman murni. Ini adalah empat hal yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah sesungguhnya Rabbku mengharamkan perbuatan keji baik yang nampak maupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa dan kedzaliman tanpa alasan yang benar serta kalian menyekutukan Allah apa yang tidak Allah turunkan alasan tentangnya juga kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (Al A’raf: 33)

Di mana hal-hal ini adalah hal hal yang diharamkan dalam semua syari’at. Dan dengan pengharamannya Allah mengutus semua Rasul dan tidak membolehkan sesuatupun darinya dalam kondisi apapun. Oleh karena itu ayat ini diturunkan dalam surat Makkiyyah ini).

Beliau juga berkata lagi:

(Dan apa yang diharamkan atas setiap orang dalam setiap keadaan adalah tidak dibolehkan darinya sesuatupun. Yaitu : perbuatan keji, kedzaliman, kesyirikan, berkata atas nama Allah tanpa ilmu).[4] Selesai.

Semua dalil ini menunjukkan satu hal, tidak adanya udzur bagi orang yang melakukan kekafiran karena lebih mengedepankan bagian dari bagian bagian dunia.

Dan perkataan Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah: (Dan andaikata kondisi dlarurat mendesakmu dan dia memberimu pilihan antara meminta putusan hukum kepada Thaghut atau engkau harus mengorbankan duniamu, maka wajib atasmu untuk mengorbankan duniamu itu dan tidak boleh bagimu meminta putusan hukum kepada Thaghut) adalah sesuai untuk membantah perkataan penulis: (Akan tetapi bisa jadi seorang muslim itu dlarurat untuk mengambil hak haknya atau hal lainnya dengan cara tahakum (meminta putusan hukum) kepada mahkamah-mahkamah itu tanpa adanya keridhaan dia terhadapnya, maka dia tidak menjadi kafir akan tetapi hukumnya adalah hukum orang yang dlarurat)

Bahkan peng-qiyas-an dlarurat terhadap ikrah itu adalah Bathil. .

Berkata Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq untuk membantah orang yang meng-qiyas-kan dlarurat terhadap ikrah dalam kekafiran:

“Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa dalam kondisi darurat bukan menginginkannya dan tidak melampaui batas maka tidak ada dosa atasnya.”

Di mana Allah mensyaratkan setelah terjadinya kondisi dlarurat adalah orang yang menyantap tersebut tidak menginginkannya dan tidak berlebihan. Perbedaan antara dua kondisi itu tidak samar bagi orang yang memiliki dua mata. Kemudian dikatakan lagi: Apakah dalam pembolehan bangkai untuk orang yang dalam kondisi dlarurat itu ada sesuatu yang menunjukkan bolehnya melakukan kemurtadan secara tanpa paksaan? Tidaklah hal ini kecuali seperti meng-qiyas pembolehan menikahi saudara perempuan dan anak perempuan terhadap pembolehan seorang yang merdeka menikahi budak perempuan ketika takut terjatuh dalam perbuatan keji dan tidak adanya biaya. Orang yang menyerupakan hal ini telah melebihi atas qiyas orang yang mengatakan: “Sesungguhnya jual beli itu seperti riba.”[5] Selesai.

Bahkan Allah Azza wa Jalla tidak menjadikan kecintaan terhadap bapak, anak anak, tanah air, harta, istri, keluarga, tempat tinggal, dan perniagaan atau selain hal itu dari urusan urusan dunia sebagai udzur untuk meninggalkan Hijrah padahal orang yang meninggalkan hijrah itu dlarurat (terdesak) oleh salah satu alasan di atas atau sebagiannya, sebagaimana yang nampak, maka bagaimana gerangan dengan sesuatu yang lebih besar dan lebih penting?! Mana mungkin meninggalkan hijrah itu bisa dibandingkan dengan melakukan kekafiran?! Padahal meninggalkan hijrah itu tidak lebih dari sebagai dosa ataupun salah satu dosa besar. Sehingga bila kondisi darurat itu tidak menjadi udzur dalam meninggalkan hijrah, maka kondisi darurat itu tentu lebih utama untuk tidak menjadi udzur dalam kekafiran.

Telah tetap dalam riwayat Abu Shalih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dia berkata:

“Ketika Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk hijrah ke Madinah, maka di antara mereka ada yang digantungi (dirintangi) oleh keluarga dan anaknya, di mana mereka mengatakan: “Kami memintamu dengan nama Allah, janganlah engkau telantarkan kami.” Maka kemudian dia merasa iba kepada mereka dan meninggalkan hijrah. Maka Allah menurunkan ayat, “Katakanlah jika bapak bapak kamu dan anak anak kamu. . . .” sampai firman-Nya, “dan Allah tidak memberi petunjuk kaum yang fasiq.” (At Taubah: 24).

Berkata Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah -setelah beliau menyebutkan sepuluh pembatal pembatal keislaman yang telah disepakati atas kafirnya orang yang melakukan salah satunya:

“Tidak ada perbedaan dalam semua pembatal keislaman ini antara orang yang bercanda, orang yang serius, dan orang yang takut, kecuali dipaksa.”[6] Selesai.

Dengan hal ini jelaslah kebathilan meng-qiyaskan kondisi dlarurat terhadap ikrah dalam membolehkan kekafiran, karena nampaknya perbedaan antara keduanya, dan qiyas itu bertabrakan dengan firman Allah Ta’ala:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ

“Siapa yang kafir setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya masih tenang dengan keimanan.”

Dan nash nash lainnya. Dan setiap qiyas yang menyelisihi nash itu maka dia adalah rusak.

Jadi orang yang dibolehkan baginya oleh si penulis itu untuk tahakum (meminta putusan hukum) kepada Thaghut dan untuk melakukan kekafiran dalam rangka mengambil hak haknya adalah bukan orang yang mukrah, karena ia itu mempunyai pilihan antara melakukannya atau meninggalkannya. Di mana dia itu tidak dipukuli, tidak diikat, atau tidak diancam oleh orang yang bisa merealisasikan ancaman dan pengikatannya. Jika dikatakan kepada seseorang, “Jadilah Yahudi atau Nashrani jika tidak maka kami akan mengambil hartamu”, maka apakah ada seorang yang berkata bahwa jika dia dalam kondisi seperti ini adalah ikrah, padahal jika dia memberikan hartanya itu maka mereka akan melepaskannya? Kami belum pernah mendengar bahwa salah seorang dari Ahli Ilmu menjadikan orang yang dalam kondisi dlarurat itu sama stastusnya dengan orang yang dalam kondisi ikrah sebelum penulis ini -semoga Allah memberikan dia hidayah-. Bahkan mereka itu membedakan antara keduanya dalam bab bab dan hukum hukum. Di mana mereka menyebutkan “bab dlarurat” dalam “bab buruan” dan menyebutkan “bab murtad” dalam “bab hudud”. Hal ini diketahui oleh orang yang memiliki sedikit pengalaman dalam pengkajian kitab kitab Fiqih. Allahul Musta’an.

*****
[1] Majmu’ah Tauhid 1/364.
[2] Majmu’ah Tauhid 1/309.
[3] Ad Durar As Sanniyyah: 10/510-511.
[4] Majmu’ Fatawa: 14/470-477.
[5] Hidayah Thariq Risalah Difa’ an Ahlis Sunnah wal Itba’ hal.151.
[6] Majmu’ah Tauhid: 1/39, Ad Durar As Sanniyyah: 8/226, Syuruthul Ikrah Fathul Bariy 12/326 cetakan Salafiyyah.
Sumber : millahibrahim.wordpress.com

0 comments:

Post a Comment