By : Ust. Aman Abdurrahman
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya seluruhnya. Wa ba’du :
Apa yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah yaitu menafikan atau meniadakan empat hal, maksudnya orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah: dikatakan muslim, mukmin apabila dia meninggalkan atau menjauhi, atau berlepas diri dari empat hal, yaitu :
1. Alihah (Sembahan-sembahan)
2. Arbaab (tuhan-tuhan pengatur)
3. Andaad (tandingan-tandingan)
4. Thaghut
Jadi Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, meninggalkan empat hal tadi dan insya Allah kita akan membahas satu demi satu dari keempat hal tersebut…
1. Alihah
Alihah adalah jamak daripada ilaah, yang artinya tuhan. Jadi Laa ilaaha illallaah ketika kita mengucapkannya: tidak ada ilaah, tidak ada tuhan yang diibadati kecuali Allah, berarti menuntut dari kita untuk meninggalkan ilah-ilah selain Allah (tuhan-tuhan selain Allah) dan yang penting bagi kita di sini adalah memahami apa makna ilaah. Karena kalau kita melihat realita orang yang melakukan kemusyrikan pada jaman sekarang, mereka tidak menamakan apa yang mereka ibadati selain Allah itu sebagai ilah (sebagai tuhan) akan tetapi dengan nama-nama yang lain. Dan kalau kita memahami makna ilah, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh si fulan atau masyarakat fulani itu adalah mempertuhankan selain Allah.
Ilaah, definisinya adalah: Apa yang engkau tuju dengan sesuatu hal dalam rangka mencari manfaat atau menolak bala (bencana).
Kalimat “dengan sesuatu hal” adalah suatu tindakan atau suatu perbuatan. Dengan contoh:
Contoh 1:
Batu besar (ini adalah sesuatu), lalu orang datang menuju ke batu besar tersebut dengan sesajian, bisa berbentuk cerutu, kopi pahit, atau rujak-rujakan, atau apa saja, ataupun bekakak ayam. Batu ini adalah sesuatu yang dituju oleh orang tersebut dengan suatu hal tadi (sesajian, cerutu, dll) pasti ada maksudnya, karena tidak mungkin seseorang menyimpan sesajian-sesajian pada batu besar tersebut dengan tujuan agar dimakan semut. Tidak… bukan itu maksudnya, akan tetapi maksudnya adalah sebagai bentuk mencari manfaat atau tolak bala. Ada yang minta dijauhkan dari bala (bencana), karena menurut keyakinannya bahwa pada batu besar itu ada yang menunggunya.
Ketika orang tadi melakukan tindakan pada batu besar itu dengan persembahan-persembahan tadi dalam rangka tolak bala atau minta manfaat, berarti batu besar ini adalah ilaah yang dipertuhankan selain Allah, sehingga pengucapan Laa ilaaha illallaah itu adalah tidak benar… bohong !, dengan kata lain orang tersebut belum muslim meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji, dan lainnya.
Contoh 2:
Pohon besar, dituju oleh seseorang atau masyarakat dengan sesuatu hal tadi (sesajian-sesajian). Pasti ada maksudnya, kalau bukan tolak bala berarti meminta manfaat.
Berarti disini pohon besar itu adalah dipertuhankan selain Allah dengan kata lain bahwa orang yang melakukannya itu telah melanggar Laa ilaaha illallaah atau dia belum muslim, karena seharusnya dia meninggalkan hal itu.
Contoh 3:
Dewi Nyi Roro Kidul… biasanya orang pantai selatan, mereka datang ke pantai tersebut menuju Nyi Roro Kidul dengan suatu hal seperti “Pesta Laut”, dengan cara melemparkan makanan-makanan ke laut untuk persembahan ke Dewi Nyi Roro Kidul, kata mereka ada maksudnya… apa? yaitu tolak bala atau cari manfaat.
Disini berarti Nyi Roro Kidul itu adalah ilaah, yang telah dipertuhankan selain Allah. Mereka yang melakukan pesta laut itu adalah orang-orang musyrik ! bukan orang-orang muslim.
Contoh 4:
Di sebagian masyarakat ada yang berkeyakinan bahwa Dewi Sri itu adalah Dewi Padi. Petani datang ke sawah dengan membawa kelapa muda atau rujak-rujakkan atau terkadang tumpeng, lalu disimpan di pematang sawah. Buat siapa…? Kata mereka buat Dewi Sri.
Dewi Sri adalah sesuatu yang dituju oleh orang atau oleh petani tersebut dengan suatu hal tadi (sesajian-sesajian) apa maksudnya…? Kalau bukan tolak bala berarti meminta manfaat agar panennya berhasil atau supaya tidak adahama, dst. Berarti Dewi Sri ini telah dipertuhankan selain Allah, dan berarti orang-orang tersebut telah melanggar Laa ilaaha illallaah, dengan kata lain belum muslim.
Contoh 5:
Orang mau membuat rumah, di mana kata masyarakat bahwa di daerah yang akan dibangun rumah itu terdapat jin penunggunya. Ketika membuat rumah, maka orang tersebut menuju sesuatu itu (jin) dengan sesuatu hal berupa tumbal (seperti : memotong ayam lalu dikubur sebelum dibuat pondasi rumah) dalam rangka supaya tidak digangu oleh jin tersebut.
Berarti jin ini adalah sesuatu yang dituju oleh pemilik rumah dengan sesuatu (tumbal) dalam rangka tolak bala. Dan berarti jin ini telah dipertuhankan selain Allah, dan orang yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang musyrik…! Bukan muslim, meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya.
Contoh 6:
Kuburan, baik itu kuburan Nabi atau kuburan wali atau kuburan siapa saja. Orang menamakan kuburan tersebut adalah kuburan keramat sehingga orang datang ke kuburan tersebut.
Kuburan adalah sesuatu, kemudian dituju oleh orang tersebut dengan sesuatu., ada yang minta ke penghuni kubur tersebut jodoh, bahkan ada yang minta do’anya (sedang meminta do’a kepada yang sudah meninggal adalah tidak dibolehkan), berarti kuburan ini adalah sesatu yang dituju oleh orang tadi dalam rangka meminta manfaat, minta jodoh, minta rizqi, atau minta do’a, ada juga yang minta agar dijauhkan dari bala. Berarti kuburan tersebut telah dipertuhankan selain Allah, dan orang-orangnya adalah orang-orang musyrik…
Mereka beralasan bahwa bahwa kami ini adalah orang kotor, sedangkan wali ini adalah orang suci, bersih, dan dekat dengan Allah, sedangkan Allah itu Maha Suci, jika kami orang kotor lalu minta langsung kepada Allah maka kami malu, sebagaimana kalau minta suatu kebutuhan pada penguasa kita tidak langsug datang ke penguasa tersebut, akan tetapi melalui orang dekatnya… jadi dia menyamakan Allah dengan makhluk. Perbuatan tersebut adalah penyekutuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berarti orangnya adalah orang musyrik dan orang tersebut telah mempertuhankan selain Allah, walaupun dia tidak mengatakan bahwa dirinya telah mempertuhankan selain Allah.
Walaupun batu besar, pohon besar, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan tetapi hakikat perbuatan mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah. Maka orang-orang yang melakukan hal itu adalah bukan orang-orang muslim. Dan kalau kita hubungkan dengan realita, ternyata yang melakukan hal itu umumnya adalah orang yang mengaku muslim. Mereka itu sebenarnya bukan muslim tapi masih musyrik.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan tentang orang-orang kafir Arab, karena di antara kebiasan mereka adalah menjadikan Latta sebagai perantara, mereka memohon kepada Latta ~yang dahulunya orang shalih~ untuk menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Ketika mereka diajak untuk mengatakan dan komitmen dengan Laa ilaaha illallaah maka mereka menolaknya, Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (٣٥) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?” (QS. As Shaffat [37] : 35-36)
Dalam ayat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam digelari “penyair gila”, padahal sebelumnya mereka menyebutnya “Al Amin” (yaitu orang jujur lagi terpercaya), mereka memahami bahwa apabila komitmen dengan Laa ilaaha illallaah konsekuensinya adalah meninggalkan ilah-ilah tadi (batu-batu keramat, pohon-pohon keramat, kuburan keramat, dst), sedangkan mereka itu tidak mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Juga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada mereka, beliau mengatakan: “Maukah kalian berikan kepada saya satu kalimat yang dengannya kalian akan mampu mendudukan orang-orang Arab dan ‘Ajam ?”, Abu Jahhal mengatakan: “Senang sekali, saya akan memberikannya… bahkan 10x lipat dari kalimat yang kamu minta itu”, kemudian Rasulullah mengatakan: “Katakan; Laa ilaaha illallaah”. Lalu mereka bangkit dan pergi sambil mengatakan: “Apakah kami harus menjadikan ilaah-ilaah itu hanya menjadi satu saja?, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan !” (sebagiannya diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim).
Mereka paham akan Laa ilaaha illallaah, karena tidak sulit dan mereka tidak perlu diajarkan artinya, tidak seperti di kita. Sedangkan di antara makna adalah itu bahwa mereka harus meninggalkan alihah selain Allah, sehingga karenanya mereka menolak. Jadi, mereka enggan meninggalkannya, berbeda dengan orang sekarang ; mengucapkan mau… bahkan ratusan kali, ribuan kali akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan kandungan daripada Laa ilaaha illallaah.Ini adalah yang pertama, alihah : sesuatu yang engkau tuju dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta manfaat. Mudah-mudahan yang pertama ini jelas…
2. Arbaab (tuhan-tuhan)
Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk meninggalkan arbaab, berlepas diri daripada Arbaab.
Apa Arbab…?? Ia adalah bentuk jamak daripada Rabb, yang artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti kalau kata-kata “atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan hukum.
Kita sebagai makhluk Allah, dan konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah yang mana Dia juga telah memberikan sarana kepada kita, maka yang berhak menentukan adalah… hanya Allah. Jadi Allah disebut Rabbul ‘Alamin karena Allah yang mengatur alam raya ini, baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai rabb.
Apa rabb itu…? Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.
Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)
Pada ayat ini Allah memvonis orang Nashara dengan lima vonis :
1. Orang-orang nashara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka .
2. Mereka telah beribadaha kepada selain Allah
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka musyrik
5. Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai Arbab… sebagai Tuhan.
Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim, (asalnya beliau ini Nashrani) sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Dan ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: Kami (maksudnya : dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah dst. Jadi dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya kemusyrikan apa yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama ?, maka Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya ?, bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya ?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya !”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orangt nashrani) terhadap mereka”
Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum (sekarang: undang-undang) maka dia mengkalim bahwa dirinya sebagai tuhan… sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik…!
0 comments:
Post a Comment