Oleh: Abana Ghaida
Kaum muslimat muwahid (bertauhid) adalah hebat. Berbanggalah! Tak perlu bersedih. Muslimat hebat karena kesiapan diri untuk mengemban berbagai misi keimanan kepada Allah Ta'ala, pengingkaran kepada thaghut dan kesyirikan, serta segenap amal ibadah di rumahnya, yang diharapkan dapat mendatangkan keridhaan-Nya. Setiap wanita shalihah begitu istimewa, sangat penting, dan memiliki andil dalam kokohnya bangunan Islam dan konstelasi kaum muslimin. Mereka mempunyai watak dan karakter luar biasa yang dapat menopang hal itu. Dikira lemah, sebenarnya mereka kuat. Disangka tak berdaya, sejatinya mereka digdaya.
Dibandingkan kaum wanita kafir, jelas kaum muslimat jauh lebih hebat. Di saat wanita-wanita kafir berlomba-lomba melakukan kesyirikan, dosa, dan maksiat, kaum muslimat teguh menggenggam iman dan takwa mereka untuk mematuhi Allah dan Rasulullah. Di saat wanita-wanita kafir dan munafik bersaing untuk saling mengumbar aurat dan melakukan tindakan amoral, kaum muslimat menyimpan kecantikan mereka hanya untuk suami dan mahramnya, mereka memiliki rasa malu dan harga diri serta 'iffah (kesucian). Ketika kebanyakan wanita hanyut dalam derasnya peradaban Yahudi dan Nasrani, kaum muslimat muwahid kokoh mengamalkan al-wal wal baraa. Menundukkan syahwat dan hawa nafsu serta menjauhi fitnah di saat budaya hedonisme dan permisif merajalela; adalah hal yang hebat. Dan Allah takkan sia-siakan keimanan dan amalan mereka.
Allah akan limpahkan pahala bagi siapa saja, tak terkecuali kaum wanita, apabila mereka beriman dan beramal shalih. Allah berfirman, "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun." (Ali 'Imran: 124)
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97)
Makanya, ada banyak keterangan dari Allah dan Rasulullah yang mengapresiasi para muslimat. Tidak ada satu teks pun di dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang hanya menguntungkan kaum laki-laki saja. Tidak ada satu keterangan pun di dalam syariat Islam yang menyiratkan bias gender. Islam memposisikan kaum muslimat sesuai dengan fitrah mereka.
Sampai-sampai Nabi Muhammad mengkhususkan waktu sehari untuk menyampaikan pengajaran kepada kaum muslimat, memberikan nasehat dan perintah kepada mereka. Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata bahwa suatu ketika para wanita pernah berkata kepada Rasulullah, “Kaum laki-laki telah mengalahkan kami, maka jadikanlah satu hari untuk kami.” Beliau pun menjanjikan satu hari untuk dapat bertemu dengan mereka, kemudian Nabi memberikan nasihat dan perintah kepada mereka.
Teks-teks pedoman memberikan penghargaan sangat tinggi kepada mereka, dengan menjadikan seluruh gerak-gerik mereka bernilai ibadah, selama meyakini akidah dan keimanan yang benar, serta mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Contohnya, seorang istri yang selalu taat dan patuh kepada suami, dia akan mendapat jaminan surga, karena Allah mewajibkan setiap istri taat dan setia kepada suami. Segala perintahnya harus ditaati, kecuali perintah melakukan kesyirikan, kekafiran, dan kemaksiatan. Rasulullah telah bersabda, “Apabila seorang wanita menjalankan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, patuh terhadap suami serta menjaga kemaluannya dari tindak perselingkuhan, niscaya dia masuk surga.” (HR. Ibnu Hibban)
Ummu Salamah menerangkan, bahwa Rasulullah telah bersabda, “Wanita mana saja yang meninggal, sedangkan suaminya merasa ridha kepadanya, maka dia berhak masuk surga.” (HR. At-Tirmidzi)
Dengan melayani suami, kebaikan terhampar di hadapannya seorang istri. Sahabat Abdullah bin Mas'ud menerangkan, bahwa Rasulullah bersabda, "Apabila seorang istri mencuci pakaian suami, maka Allah menetapkan baginya seribu kebaikan, mengampuni seribu kejelekan, mengangkat baginya seribu derajat dan seluruh mahluk yang terkena sinar matahari memohonkan ampun baginya." (HR. Ath-Thabrani dari Abdullah bin Mas'ud)
Islam menjanjikan kebaikan dan pahala besar kepada istri yang membantu kepemimpinan suami dengan ketaatan, serta memberikan ancaman kepada istri yang ingkar. Sahabat Abu Hurairah memberikan keterangan, bahwa Rasulullah telah bersabda, “Seandainya aku boleh memerintahkan kepada seseorang untuk menyembah orang lain (sesamanya), tentu aku perintahkan kepada seorang istri agar menyembah suaminya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Ibnu Majah)
Bahkan, seorang wanita adalah kunci dari kehidupan lelaki. Shahabat Sa'ad bin Abi Waqash menerangkan, bahwa Rasulullah bersabda, “Kunci kebahagiaan umat manusia ada tiga, kunci kecelakaan mereka juga ada tiga. Kunci kebahagiaan mereka: Istri shalihah, tempat tinggal yang nyaman dan kendaraan yang bagus. Sedangkan kunci kecelakaan mereka: Istri yang rusak, tempat tinggal yang gersang dan kendaraan yang jelek.” (HR. Al-Hakim dan Ahmad)
Sa'ad bi Abi Waqqash mengetengahkan sebuah riwayat yang bersumber dari ayahnya, bahwa Rasulullah bersabda, “Tiga hal yang menjadi kunci kebahagiaan seseorang; Istri yang bila dipandang menyenangkan, bila engkau perintah patuh dan bila engkau tinggal pergi engkau merasa yakin terhadap kesetiaannya. Tiga hal yang menjadi kunci kesengsaraan seseorang; Istri yang bila engkau pandang menjemukan, bila engkau perintah lisannya selalu mengumpat dan bila engkau tinggal merasa aman atas dirinya (karena dapat melakukan perselingkuhan).” (HR. Al-Hakim)
Allah menciptakan wanita sebagai pengimbang kehidupan. Mereka dibebani misi untuk berjuang menjaga keseimbangan, harmoni, ketenangan, dan cinta di setiap unit keluarga. Namun, mereka juga berjuang keras untuk mendidik diri mereka dan memanjakan segenap potensi individu mereka. Mereka memang terbingkai dalam kelemah-lembutan dan halus, namun juga mampu tampil penuh keberanian menghadapi orang-orang ‘kuat’ dan para tiran. Dia turut membantu memegang peranan kunci dalam pengembangan wawasan, kreativitas, bakat, dan pencapaian kesuksesan suami, anak-anak, dan kaum beriman. Semua ini tentang kapasitas seorang wanita untuk mencintai, memberi, memaafkan, menyibak rintangan, dan berjuang mencurahkan potensi diri sebagai individu hamba Ilahi.
Seperti halnya kaum laki-laki, wanita pun bertanggungjawab atas agama, akidah, dan ibadahnya. Mereka wajib mengetahui hukum-hukum tentang halal dan haram, serta mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan.
Oleh karenanya, kita bisa menyaksikan banyak Shahabiyah yang berinisiatif mencari ilmu, memprioritaskan diri mereka untuk mendapatkan berbagai pelajaran. Sedemikian tingginya perhatian dan aktivitas mereka dalam menuntut ilmu. Terlebih lagi ketika kita membuka lembaran-lembaran sejarah Ummahatul Mukminin, kita mendapatkan mereka memiliki kapabilitas keilmuan yang tinggi dan banyak meriwayatkan hadits Nabi Muhammad. Mereka juga menjadi referensi penting atas berbagai pertanyaan sahabat beliau. Yang terdepan di antara mereka adalah Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu 'Anha.
Diriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair, dia berkata, “Aku tidak mendapatkan seorang wanita yang lebih mengetahui Al-Qur’an, kewajiban agama, fikih, kedokteran, dan syair daripada Aisyah.”(Diriwayatkan Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak, 11/4, dan Ath-Thabarani di dalam Al-Kabir, 23/182)
Riwayat tersebut memotivasi para muslimah untuk mempelajari beragam ilmu bermanfaat, menghafal Al-Quran, mentadaburi makna-maknanya, sehingga memicu mereka untuk konsisten dalam beragama, beretika, dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar.
Bahkan para Sahabat wanita di masa lampau memiliki semangat luar biasa, sampai-sampai mereka meminta kepada Rasulullah untuk dilibatkan dalam peperangan atau juga disetarakan pahala mereka dengan pahala berjihad. Asma binti Yazid Al-Anshariyah Radhiyallahu 'Anha mendatangi Rasulullah, sementara beliau sedang duduk di antara para sahabatnya. Asma’ berkata, “Aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu ya Rasulullah. Aku adalah utusan para wanita di belakangku kepadamu. Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada seluruh laki-laki dan wanita, maka mereka beriman kepadamu dan kepada Rabbmu. Kami para wanita selalu dalam keterbatasan; sebagai penjaga rumah, tempat menyalurkan hasrat dan mengandung anak-anak kalian, sementara kalian (kaum laki-lak) mengungguli kami dengan shalat Jumat, shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, berhaji setelah sebelumnya sudah berhaji dan yang lebih utama dari itu adalah jihad fi sabilillah. Jikalah seorang dari kalian pergi haji atau umrah atau jihad, maka kamilah yang menjaga harta kalian, yang menenun pakaian kalian, yang mendidik anak-anak kalian. Bisakah kami menikmati pahala dan kebaikan ini sama seperti kalian?”
Nabi memandangi seluruh sahabat. Kemudian beliau bertanya, “Apakah kalian pernah mendengar ucapan seorang wanita yang lebih baik pertanyaannya tentang urusan agamanya daripada wanita ini?” Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, kami tidak pernah menyangka ada wanita yang bisa bertanya seperti dia.”
Nabi menengok kepadanya dan bersabda, “Pahamilah wahai wanita. Dan beritahu para wanita di belakangmu bahwa ketaatan istri kepada suaminya, usahanya untuk memperoleh ridhanya dan kepatuhannya terhadap keinginannya menyamai semua itu.” Asma pun berlalu dengan wajah berseri-seri.
Atau dalam kisah lainnya, Aisyah bertanya, "Wahai Rasulullah, kami melihat jihad itu seutama-utama amal, apakah kami tidak ikut berjihad?” Beliau menjawab, "Bagi kalian ada jihad yang paling utama, yaitu haji yang mabrur.”
Dalam riwayat lainnya, Aisyah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi wanita?” Beliau menjawab, “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah.”
Tetapi dalam hadits lain disebutkan juga bahwa terdapat Sahabat wanita yang ambil bagian dalam peperangan atau jihad dalam tugas yang khusus. Mereka menyediakan makanan, merawat dan mengobati pasukan muslimin yang terluka, mengumpulkan anak panah, dan memberikan semangat jihad di jalan Allah.
Ummu Athiyyah Al-Anshariyyah berkata, ”Aku telah ikut berperang bersama Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam dalam tujuh peperangan, aku tertinggal dalam perjalanan bersama mereka. Maka aku buatkan mereka makanan, mengobati yang terluka, dan mengurusi orang sakit.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terdapat sekumpulan wanita yang mengikuti Perang Khaibar. Rasulullah mengetahui hal tersebut kemudian menyuruh seorang utusan untuk mendatangi mereka. Ketika ditanya oleh utusan tersebut, mereka menjawab, "Kami keluar untuk membantu pasukan mengumpulkan anak panah, membantu untuk mengobati pasukan yang terluka, memberi semangat jihad di jalan Allah.” Kemudian para wanita tersebut pergi dan Allah memberikan kemenangan bagi kaum muslimin. Rasulullah memberikan bagian ganimah kepada para wanita itu sebagaimana bagian laki-laki, yaitu berupa kurma.
Ya, pada zaman Rasulullah, wanita yang ikut berperang biasanya ditempatkan di barisan belakang. Mereka membantu menyediakan makanan, mengobati pasukan yang terluka, mengumpulkan senjata yang terjatuh, dan memberikan semangat jihad agar diperoleh kemenangan. Namun, dalam kondisi darurat atau fardhu 'ain, mereka pun mengangkat senjata bahkan sengaja terjun langsung di medan pertempuran melawan dan membunuh orang-orang kafir.
Terdapat hadits yang menerangkan bahwa wanita pun mengangkat senjata pada kondisi darurat, di antaranya:
Dari Abdillah bin Zaid bin Ashim, dia berkata, ”Saya menyaksikan Perang Badar ketika kaum muslimin kocar-kacir lari meninggalkan Rasulullah. Aku dan ibuku mendekat ke posisi Rasulullah, beliau bertanya, "Apakah engkau putra Ummu Amarah?” Aku menjawab, ”Ya.” Beliau bersabda, "Lemparlah.” Saya pun melempar musuh yang mengendarai kuda dengan batu. Lemparanku mengenai mata kuda musuh dan laki-laki itu jatuh dan kemudian disusul dengan pukulan batu. Melihat peristiwa itu, Rasulullah tersenyum, dan beliau melihat luka di bagian punggung ibuku seraya bersabda, "Ibumu, ibumu, balutlah lukanya. Ya Allah, jadikanlah mereka sahabatku di Jannah.” Aku berkata, ”Dan saya pun tidak menghiraukan lagi apa yang menimpaku di dunia.”
Demikianlah, kadang dalam satu kondisi tertentu yang darurat, yaitu jika musuh tiba-tiba menyerang suatu negeri dan telah sampai ke rumah-rumah, hendaklah para wanita berperang untuk mempertahankan dirinya dan orang-orang yang bersama dengannya. Sebagaimana diterangkan dalam satu riwayat Imam Muslim, dari Anas, dia berkata, "Bahwa ketika Perang Hunain, Ummu Sulaim membawa sebilah khanjar (semacam pisau) dan selalu bersamanya, lalu Abu Thalhah melihatnya, maka dia berkata kepada Rasulullah , "Ya Rasululloh, ini Ummu Sulaim membawa sebilah pisau." Maka beliau bertanya kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa engkau membawa pisau itu, wahai Ummu Sulaim?" Dia menjawab "Aku membawanya jika ada salah satu musuh dari kaum musyrikin yang mendekat kepadaku, maka aku akan merobek perutnya." Mendengar jawabannya, Rasulullah tertawa.
Oleh karena itu, jika muslimat wajib berjihad dalam kondisi darurat tertentu, maka sudah sewajibnya dia membekali diri dengan senjata, melakukan i'dad (persiapan) dengan berlatih menggunakan senjata dan menembak. Dan sudah semestinya bagi suaminya untuk melatih istrinya, atau jika belum menikah, maka dia berlatih kepada pelatih wanita.
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami betapa hebatnya seorang muslimah. Dia mesti memiliki kesiapan dan ketangguhan untuk melakoni tugas penghambaannya kepada Allah, mempelajari ajaran-ajaran Islam yang benar, menunaikan tugas-tugas domestik, melayani suami, merawat dan mendidik anak-anaknya, membantu kaum muslimin di medan jihad, dan bahkan dalam kondisi tertentu dia pun ikut mengangkat senjata dan membunuh musuh-musuh Islam.
Sadarilah nilaimu wahai muslimat, dan berbanggalah dengan ganjaran yang akan didapatkan. Kalian tak perlu menjadi orang lain. Tetaplah menjadi muslimah. Bergegaslah untuk berkontribusi dalam penjagaan bangunan Islam dan penegakkan panji tauhid di segenap penjuru.
Daulah Islam, 14 Dzulqa'dah 1438 H
(Tabik hormat untuk sosok salah satu wanita hebat nun jauh di sana; ibu)
☀️خلافة على منهاج النبوة☀️
0 comments:
Post a Comment