الحمد لله الكبير المتعال، والصلاة والسلام على الضحوك القتال، وعلى أهل بيته الطيبين الأطهار، وبعد
Sesungguhnya di antara nikmat Allah Ta’ala yang dikaruniakan terhadap umat Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam adalah Dia akan memperbaharui bagi mereka jama’ahnya dan imamahnya, dan melalui pembaharuan ini Dia menghancurkan berhala-berhala yang diagungkan, dan juga menghapus simbol yang dikuduskan. Kita sejak puluhan tahun dan sejak masa kanak-kanak telah dicekoki faham bahwa pembaharu dien ini di abad yang lalu adalah al-Bana, Rasyid Ridha, al-Maududi, an-Nabhani, al-Kandahlawi dan selain mereka dari para “imam-imam” jahmiah, tasawuf, dan pengikut logika, bahkan dari mereka para penyeru demokrasi dan nasionalisme dengan label “Islam”. Na’udzu billah.
Dan meskipun tidak ada bayi yang terlahir kecuali dalam keadaan fithrah, hanya saja orang tua telah menancapkan simbol-simbol dan berhala-berhala ini ke dalam hati anak-anak, hingga jiwa mereka tidak terima jika simbol-simbol ini direndahkan, walau simbol-simbol ini telah jauh tersesat dan mati di atas apa yang mereka serukan.
Dan di antara nikmat Allah – Jalla wa ‘Ala – adalah dengan menghancurkan sebagian simbol ini dari hati makhluk, dan menjadikan kehancurannya melalui pedang-pedang dan senjata Khilafah dan melalui lisan dan pena para tentaranya, mereka tidak mengecualikan satu simbol pun dari sombol-simbol sesat, mereka runtuhkan berhala al-Ikhwan al-Murtaddin hingga berhala “Salafi Jihadi”. Namun, karena sebagian kaum telah mengecap simbol-simbol ini dan telah menyerap ke dalam hati mereka melalui didikan para “pembesar” mereka, hingga jiwa mereka tidak terima dengan penghancuran yang terus menerus ini.
Maka siapa “Hakim Umat” si dungu yang mengucapkan selamat kepada revolusi “yang dibawa oleh Muhammad Mursi” dan tidak mengkafirkan kaum Rafidhah musyrik lagi najis, bahkan berdebat membela mereka dan menjadikan pena dan lisannya sebagai tameng pelindung dari siapa yang mengincar mereka dengan bom dan sabuk peledak, juga berdebat membela Shahawat Saluliah, nasionalis demokratis dan menyebut mereka sebagai “Mujahidin mulia”, dan menyebut kaum kristen Mesir muharib sebagai “mitra sebangsa”, di saat yang sama menyebut muwahhid mujahid sebagai “neo-Takfiri ekstrim”, meminta mereka untuk keluar dari Syam, kemudian menutup kekufurannya dengan membai’at pembantu intelijen Pakistan, si Dajjal yang telah merilis Statemen Nasionalis mengatas namakan pemimpinnya yang telah meninggal, sekaligus memperlihatkan sikap loyal kepada Thaghut Qatar, Rafidhah Iran dan pemimpin-pemimpin kufur lainnya, dan si dungu Zhawahiri ini tidak malu untuk menyatakan konsistensinya dengan membai’at kelompok nasionalis yang menolak dengan kekuatan (mumtani’ah bisy-syaukah) syariat yang zhahir dan mutawatir.[1]
Juga menghapus simbol “al-Imam asy-Syahid” – Imam sesat dan “Syahid” di jalan Undang-undang buatan – pengikut Asy’ariah, Sufi, nasionalis demokratis Hasan al-Bana, melalui makalah yang disebarkan lewat Majalah Dabiq dengan bahasa Inggris, di mana makalah itu berisi tentang “Mursyid ‘Am” untuk partai dan apa yang mereka seru dari penyatuan agama-agama, mendekatkan antara Sunni dan Rafidhah dan ikut serta dalam dewan undang-undang dan mengagungkan demokrasi, “Hak” berbicara dan “Hak” memeluk agama serta multi partai, peraturan perundang-undangan serta pasifisme yang menentang Jihad, serta mengagungkan Thaghut Mesir serta berfaham Jahmiah yang menghapuskan sikap mengkafirkan. Makalah ini juga menjelaskan, bahwa dengan kesesatan-kesesatan ini tidak mungkin menilai partai ini sebagai pembawa panji tha’ifah manshurah yang akan menyerahkannya kepada orang-orang setelahnya! Namun partai ini adalah partai murtad dan wajib bagi para anggotanya untuk bertaubat dari kekufuran, dan keadaan sesungguhnya partai ini telah terlihat di masyarakat umum sejak dua dekade terakhir, dalam menjalankan praktek demokrasi dan loyalitas kepada para thaghut dan salibis dan membantu mereka memerangi Islam dan kaum muslimin.
Kemudian makalah ini menyinggung orang-orang yang bersimpati terhadap al-Ikhwan, dari kalangan para pengklaim “Jihad”, juga menyebutkan Zhawahiri dan ajakannya agar siapa yang dia sebut “Mujahidin” bekerjasama bersama Jama’ah “Islamiyyah” yang beramal dalam bidang “Dakwah” (Zhawahiri menyeru mereka untuk bekerjasama antar mereka dalam hal-hal yang mereka sepakati dan untuk saling menasihati dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, sebuah kalimat Al-Bana-isme dan Albani-isme yang menyelisihi aqidah Al-wala wal-Bara). Begitu juga, makalah ini menyebutkan si pemilik teori tentang pengalaman, revolusi, perlawanan dan konspirasi Abu Mush’ab As-Suri, yang telah menjadikan Hasan Al-Bana dan pengikutnya sebagai kaum pendahulu yang jujur bagi tha’ifah manshurah di zaman ini! Penulis artikel kemudian membongkar Abu Mush’ab As-Suri dalam kata-katanya yang sesat khusus dalam masalah ini dan ajakannya untuk bekerjasa sama dengan kaum Rafidhah melawan para “Pejuang” dan meninggalkan takfir kepada mereka kepada “Ulama-ulama senior yang telah sampai tingkatan qadhi dalam masalah aqidah dan agama”, penulis juga mengambil bukti dengan perkataan Abu Mush’ab As-Suri yang sangat jelas, dan tidak menukil seluruh apa yang ada di dalam karangannya karena banyaknya, Allahul Musta’an.
Kemudian sebagian orang-orang bodoh yang bersimpati, yang masih terus berbaik sangka kepada “simbol-simbol” ini atas para penulis majalah terhadap perkataan mereka tentang As-Suri, meski pun kesesatannya yang sangat banyak, yang terangkum dalam point-point berikut ini:
- Dia mengudzur para thaghut dan orang-orang musyrik dengan udzur jahil (kebodohan), tidak mengkafirkan para thaghut ikhwan, tidak juga orang-orang yang memilih mereka[2], tidak juga orang Rafidhah secara umum tidak juga awam mereka, para quburiyun dan tidak juga “mursyid” mereka.
- Dia meremehkan kesesatan Asy-‘Ariyah, Maturidiah, Sufi dan Ikhwan, menghambat dakwah tauhid murni dan aqidah Salafush-Shalih.
- Dia meremehkan bahaya ta’ashshub terhadap madzhab, bahkan mengajak untuk taqlid terhadap madzhab penduduk setempat, dan itu menghilangkan sikap ittiba’ kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan sunnahnya.
- Dia memperingatkan dengan keras sikap takfir, melalui cara Sururiyah dari murji’ah dan Jahmiah.
- Dia terpengaruh dengan teori-teori konspirasi sesat melalui jalan nasionalisme Arab.
- Dia memiliki cara tidak ilmiah dalam melontarkan pendapat, di mana dia terpengaruh tulisan-tulisan militer dan gerakan Marxis, mendebat masalah tauhid dan jihad melalui metode perasaan akal murni, kemudian menarik kesimpulan terhadap jihad para muwahhidin dari segi “Percobaan gagal”, lupa terhadap para Ashhabul Ukhdud, dia juga memiliki pandangan pesimis negatif terhadap aktifitas jihad apa pun, dan mengajak kepada apa yang dia sebut sebagai “Perlawanan Revolusi.”
Dan aku heran dengan orang-orang yang kagum terhadap laki-laki ini, meskipun dia hanya seorang “mentor” yang belum pernah ikut dalam “eksperimen” apapun dari berbagai “Eksperimen” yang dia tulis kecuali hanya sebatas di permukaan, dan yang paling terkenal adalah “Eksperimen Suriah”, yakni ketika Adnan ‘Aqlah keluar dari partai Ikhwan dan mengumumkan vonis takfirnya kepada mereka, lalu memerangi Nushairiah, Bathiniah dan Ba’ats Nasionalis hingga dia tertangkap dan dibunuh, sedangkan ketika itu Abu Mush’ab as-Suri berada di Irak meminta berlindng di bawah thaghut Ba’ats yang binasa Saddam Husain, dan beraktifitas di sana bersama tanzhim Al-Ikhwan Suriah, kemudian pergi ke Afghanistan dan bekerja sebagai instruktur dan bepindah-pindah antara Afghanistan dan Spanyol sepanjang masa itu, kemudian berpindah ke Inggris, lalu kembali ke Afghanistan dan menjadi instruktur serta menulis tentang “Eksperimen Aljazair” dan menjadikan media-media kafir sebagai rujukan terbesarnya dalam mengkritik “Eksperimen” ini. Kemudian menulis tentang “Eksperimen Thaliban”, lalu menulis “Eksperimen Bin Laden” setelah peristiwa 11 September – meskipun dia tidak pernah masuk ke dalam Tanzhim Al-Qaeda selama dia menetap di Afghanistan, dan tidak ada “Eksperimen” yang luput dari kritik negatif, sikap pesimis dan mengenyampingkan hasil penting, dan tinggalnya dia di Inggris tidak lepas dari sikap tahakum kepada pengadilan kerajaan Salib ketika dia berseteru dengan surat kabar “Al-Hayat” milik Saluliah (Saudi_pent) pada akhir “90-an”, padahal perseteruan itu hanya masalah tentang makalah yang terdapat dalam koran itu yang mengaitkannya dengan konspirasi “Jam’ah Islamiyyah Musallahah” dan mengarang fatwa yang mengalirkan darah orang-orang yang keluar dari “Jabhah Islamiyyah lil Inqadz” (FIS, Front Islamique du Salut atau Islamic Salvation Front_pent) dan masuk ke dalam “Jama’ah Islamiyyah Musallahah”, maka dia pun segera mengadukan koran itu dengan bertahakum kepada thaghut! Na’udzu billah…[3]
Dan setelah penjelasan ini, berikut ini sebagian kutipan dari perkataan As-Suri dalam berbagai masalah, tapi sebelum itu ingin aku katakan: Akhir-akhir ini telah disandarkan kepadaku makalah-makalah tentang aqidah dan apa yang disebut Takfir “Al-‘Adzir” (Vonis kafir atas orang yang memberi udzur), padahal aku belum pernah menulisnya dan belum pernah membacanya, terakhir yang aku tulis sejak makalah “Fadhihatu asy-Syam wa Kasru al-Ashnam (Skandal Syam dan Menghancurkan Berhala)” hingga makalahku yang ini adalah:
- Ar-Radd ‘Ala al-Mukhannats ad-Dayyuts (Bantahan terhadap Banci yang Tidak Cemburu)
- Ballighu Nisa`a ash-Shahawat Annahunna Thawaliq (Kabarkan Kepada Istri-istri Shahawat Bahwa Mereka Dicerai)
- Ahwalu al-Mubayi’in lil Amwat wa al-Gha`ibin (Keadaan Orang-orang yang Berbai’at kepada Orang yang Telah Mati dan Tidak ada)
- As-Safih al-Khirfan Yubayi’u Taghut Thaliban (Si Dungu yang Membai’at Thaghut Thaliban)
- Ala Hadzihi Ghadrah Umara Harakat Asy-Syabab (Ketahuilah, ini adalah Pengkhianatan Para Pemimpin Asy-Syabab)
- Yahud al-Jihad – Qa’idah azh-Zhawahiri
Maka harap memperhatikan hal ini.
Berikut ini aku sebutkan sebagian makalah as-Suri dengan sedikit komentar ringan:
As-Suri tidak mengkafirkan Rafidhah.
As-Suri berkata: “Dan aku ringkas dari apa yang aku dapatkan petunjuk di dalamnya dalam masalah aqidah dan masalah madzhab, dalam poin-poin berikut ini; … bahwa siapa yang keluar dari keyakinan Ahlussunnah wal-Jam’ah dari kelomok-kelompok yang banyak, seperti syi’ah, murji`ah dan khawarij, dan lain sebagainya dari ahli laa ilaha illallahmaka dia adalah umat Islam dan ahlul-qiblah, tidak dikafirkan secara umum, tidak dinafikan dari mereka sifat Islam dan tidak juga sifat ahlul-qiblah, kecuali sesuai dengan timbangan dan ketentuan (dhawabith) tertentu menurut Ahlussunnah yang dijelaskan oleh para ulama mereka dari terpenuhinya syarat dan hilangnya mawani’ (penghalang), dan ini adalah pekerjaan para ulama tingkat tinggi yang telah mencapai tingkatan qadha` dalam masalah aqidah dan agaman, dan bukan pekerjaan personal seorang muslim dari kalangan bodoh dan awam mereka, sebagaimana juga bukan pekerjaan mereka yang fokus dalam berjihad dan melawan musuh”. (Dakwah Muqawamah/Dakwah Perlawanan).
Dia juga berkata; “Masalah Syi’ah dan kelompok-kelompok di luar Ahlussunnah, para jihadis seluruhnya menganggap bahwa kelompok-kelompok itu masih termasuk umat Islam atau apa yang disebut ahlul-Qiblah … Syi’ah Ja’fariah (Imamiyah): dan mereka adalah mayoritas Syiah di Iran, minoritas Syi’ah di Lebanon, Pakistan, Afghanistan dan Timur Tengah … mayoritas Jihadis menganggap mereka sebagai muslim, Ahlul-Qiblah, sesat dan pelaku bid’ah.” (Dakwah Muqawamah).
Dia juga berkata di dalam apa yang dia sebut “al-‘Aqidah Jihadiyyah wa Dustur al-Muqawamah al-Islamiyyah al-‘Alamiyyah (Ideologi jihad dan Konstitusi Perlawanan Islam Internasional)”: “Dakwah perlawanan Islam Internasional menganggap seluruh muslim yang mengatakan Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah di atas perbedaan madzhab mereka dan kelompok mereka, termasuk ke dalam lingkaran Islam secara umum yang disebut oleh para Fuqaha sebagai Ahlul-Qiblah, dan menganggap perbedaan aqidah, madhzhab dan kelompok harus dikembalikan kepada ulama untuk mengurusnya, dan medan masalah ini adalah dialog dengan kebenaran, bayan dengan hikmah dan peringatan yang baik, dan melarang dari fitnah dan saling bunuh di antara sesama muslim. (Dakwah ini juga) mengajak seluruh muslim dari kalangan Ahlul-Qiblah, baik secara madzhab, jama’ah maupun individu, untuk bekerja sama dalam mengusir penjahat dan jihad terhadap orang kafir yang menghancurkan negeri-negeri kaum muslimin, dan menyeru kepada semua untuk mencabut segala pemicu perselisihan internal, yang tidak mendapatkan manfaat darinya dalam masa-masa seperti ini kecuali musuh kafir yang memerangi negeri kaum muslimin.” (Dakwah Muqawamah).
As-Suri tidak mengkafirkan para thaghut Ikhwan dan orang-orang murtad yang masuk ke dalam syirik demokrasi dan kufur nasionalis:
As-Suri berkata: “Adapun orang yang mempraktekkan demokrasi maka mereka berbeda-beda dan bermacam-macam, sehingga dengan begitu berbeda hukum mereka … akan tetapi secara umum, aku mengikuti pendapat bahwa siapa yang meyakini kufurnya demokrasi, dan bertentangan dorongan filsafatnya serta landasan hukumnya dengan keyakinan Islam dan dien tauhid, akan tetapi dia menjalankannya karena takwil (bab ta’wil) di saat lemah, dan itu adalah satu-satunya jalan yang tersedia untuk merealisasikan maslahat yang dia harapkan demi dakwah, Islam dan kaum muslimin, dan itu adalah jalan yang memungkinkan baginya untuk mencapai kepada penegakan hukum syariat dalam keadaan seperti itu, kemudian menghilangkan apa yang bertentangan dengannya, atau karena itu adalah jalan yang memungkinkan untuk menampakkan kebenaran, amar ma’ruf nahyi munkar, dan menyampaikan suara kebenaran milik umat, dan lain sebagainya, maka orang-orang yang ikhlas dari mereka ini mendapat udzur karena takwil dalam menjalankan demokrasi dan masuk ke dalam lembaganya”. (Dakwah Muqawamah).
“Muncul fenomena negatif dalam pergerakan Thali’ah (yakni Thali’ah Muqatilah_pent), yakni pelanggaran mereka, terlebih Adnan ‘Aqlah dan sebagian muridnya kepada sikap ekstrim, dan terlebih ketika al-Ikhwan mulai menempuh jalan menyimpang itu dalam berkolaborasi dengan media politik baru, setelah ditetapkan oleh al-Ikhwan dari permintaan terus menerus untuk menjebak ath-Thali’ah dan menganggapnya sebagai musuh, maka Adnan ‘Aqlah mengumumkan bahwa dia mengkafirkan para petinggi Ikhwan al-Muslimin dan Jabhah Islamiyyah yang menyatakan persekutuan nasional dan juga apa yang dia bawa dari penyimpangan-penyimpangan … dan meskipun sejumlah banyak orang-orang yang adil mengambil sikap tawaqquf dalam menghadapi jalan yang menjurus kepada saling mengkafirkan ini, Adnan tetap terus di atas sikapnya ini.” (Tsaurah Islamiyyah Jihadiyyah fie Suriya).
Dan dia menganggap di antara “Poin-poin negative” dalam “Eksperimen Thali’ah”: “Penyimpangan Thali’ah di akhir-akhir waktu karena kepungan yang dilakukan al-Ikhwan dan Iraq dan konspirasi dari semua arah, serta apa yang menimpa mereka dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan di luar negeri yang membuat mereka bersikap ekstrim. Sikap ekstrim ini menjadi ciri khas yang melekat pada siapa saja yang bergabung dengan thali’ah, media al-Ikhwan memainkan peran utama dalam memperbesar dan memblow up hal ini karena digunakan untuk melawannya. Namun Thali’ah di luar negeri hanya sedikit merasakan hal ini. Dan hal terjauh yang masuk dalam keyakinan Adnan ‘Aqlah dan sebagian temannya adalah kafirnya al-Ikhwan al-Muslimin dan Jabhah Islamiyyah yang telah berfatwa untuk bersekutu dan ridha dengannya baik secara pandangan maupun praktek, dan mengkafirkan siapa saja yang telah tegak hujjah atasnya dan tetap loyal kepada qiyadah dan sekutunya … akan tetapi generalisasi yang dilakukan olehnya (Adnan ‘Aqlah) tidak diragukan lagi adalah hal berlebihan!” [Ats-Tsaurah Al-Islamiyyah fir Suriya].
Penghormatan As-Suri kepada Al-Ikhwan al-Murtaddin dan anggapannya bahwa Tha’ifah Manshurah Mujahid Muwahhid mewarisi panji dari mereka!
As-Suri berkata; “Gerakan Ikhwan al-Muslimin benar-benar dianggap seperti apa yang mereka sebut sebagai induk dari mayoritas gerakan-gerakan dasar dan politik, dan bahkan bagi gerakan jihad di dunia Arab dan Islam” [Dakwah Muqawamah].
Dia juga berkata; “Gerakan Ikhwan al-Muslimin – dalam gambaran umum – merupakan inkubator alami yang memungkinkan untuk melahirkan dan menyebarkan pemikiran seperti ini, dakwah Hasan Al-Banna rahimahullah telah membentuk suasana yang sesuai untuk perkembangan seperti ini, dan tidak ada bukti terkuat akan hal itu dari motto yang meringkas manhajnya “Allah tujuan kami, Rasulullah teladan kami, al-Quran undang-undang kami, Jihad jalan kami, mati di jalan Allah cita-cita tertinggi kami.” … sebagaimana juga praktek jihad dasar yang dilakukannya membentuk bukti lain akan pantasnya gerakan ini menjadi inkubator bagi lahirnya arus dan pemikiran jihad di dalam rahimnya” [Dakwah Muqawamah]
Dia juga berkata; “Telah lahir embrio kebangkitan Islam, berupa seruan perbaikan secara total, dan sisi aqidah jihad hadir di kebanyakannya, dan tidak ada yang lebih awal dari hal ini di banding motto yang sangat populer di dalam induk gerakan Islam dan jantungnya ini, dakwah Ikhwanul-Muslimin dan apa yang terlahir darinya dari gerakan-gerakan di dunia Arab dan dunia Islam, ketika itu motto tersebut adalah: Allah tujuan kami, Rasulullah teladan kami, Al-Quran undang-undang kami, jihad jalan kami, dan mati di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami. Aku tidak dapati di dalam sastra para sastrawan atau di dalam karangan para penulis di dalam umat ini di era modern yang lebih lengkap cakupannya terhadap nilai-nilai aqidah jihad dari motto ini, yang mengumpulkan seluruh kelengkapan dien, dasar dan cabangnya.” [Dakwah Muqaamah].
Dia juga berkata; “Akan tetapi, pemikiran gerakan untuk arus jihad dan yang melahirkan pemikiran pertamanya, maksudku adalah pemikiran Ikhwan al-Muslimin, berhembus terhadap dunia Arab dan dunia Islam dari Mesir dan Suriah Syam secara utama, dan pemikiran harakah ini, yang berada di dalam gerakan Ikwan al-Muslimin … merupakan salah satu dari dua bagian komponen dari pemikiran gerakan jihad kontemporer.” [Dakwah Muqawamah]
Dia juga berkata; “Sikap terhadap madrasah-madrasah kebangkitan Islam non-jihadi: Mayoritas Jihadis senior (dan as-Suri menganggap dirinya salah satu dari ini) mengambil sikap hormat terhadap madrasah kebangkitan ini dan para pembesarnya, dan konsisten dengan adab perbedaan pendapat dengan mereka meski jauhnya jarak dan kesenjangan dalam pemikiran dan penerapan, sedangkan mayoritas jihadis yang datang kemudian (Mutaakhkhirin) berada dalam sikap permusuhan, pertentangan dan persaingan dengan mereka yang bersumber dari sikap tertekan dan kehinaan.” [Dakwah Muqawamah]
Dia juga berkata: “Garis-garis dakwah perlawanan Islam global … materi ke 19: Dakwah perlawanan Islam global dianggap sebagai usaha keras setiap orang yang ikhlas dalam kebangkitan Islam secara dakwah, perbaikan, keilmuan, keagamaan dan lain sebagainya, dari menjalankan proyek-proyek syar’i, yang dijalankan oleh setiap madrasah kebangkitan, dari dakwah dan Tabligh, Salafi, Ikhwan al-Muslimin, Hizbut-Tahrir, dan lain sebagainya dari berbagai madrasah kebangkitan Islam … sebagai sebuah kerja keras yang patut disyukuri untuk menjaga dien kaum Muslimin, memperbaiki keadaan mereka, dan menyeru mereka seluruhnya untuk bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan dan mendukung perlawanan, usaha keras mereka di dalam dakwan kepada dienullah di anggap sebagai dukungan dan penguat bagi tunas perlawanan di dalam umat, dan penjaga bagi komposisinya, dan mengajak kepada semua pihak untuk mengenyampingkan perbedaan dalam tahapan ini, karena itu semua dapat menghadapkan kaum muslimin seluruhnya kepada bahaya dalam setiap tingkat peradaban.” [Dakwah Muqawamah].
Aku berkata; “Kelompok yang sejak awal pendiriannya menyeru kepada persatuan agama-agama, demokrasi, nasionalisme, undang-undang buatan, multi partai, kebebasan kufur, dan mengagungkan para thaghut dan menolak takfir dan perang … apakah kelompok ini pembaharu tauhid dan jihad? Atau memerangi Islam?
Berpaling dari dakwah tauhid kecuali yang memperkuat “Dakwah Perlawanan”
As-Suri berkata: “Maka bagi kita, terlebih khusus, hari ini perlu untuk konsentrasi terhadap apa yang kita hadapi, dari hal yang berkaitan dengan masalah dakwah perlawanan, baik itu konfrontasi militer jihad, atau politik, media, pemikiran, sastra, atau apa saja yang menyibukkan kita dan menyita kita dari segala bentuk kerja keras, atau memalingkan kita terhadap segala bentuk beban, kita harus menyibukkan diri terhadap masalah-masalah yang telah dibatasi dalam kerangka batasan pergulatan, dan masing-masing telah dimudahkan terhadap apa yang telah diciptakan baginya … setiap pemikiran, pandangan, tingkah laku, perkataan atau perbuatan yang membantu munculnya perlawanan, atau menumbuhkan benihnya dengan bentuk secara langsung, maka itu adalah salah satu tujuan dari berbagai tujuan perlawanan, dia harus mendapat bantuan pendapat, perkatan dan pertolongan. Dan setiap hal yang kontra terhadap hal itu yang dapat menghentikan perlawanan, mengeringkan benihnya dan membantu musuh-musuhnya, maka dakwah muqawamah memiliki sikap untuk melawannya dengan hal yang sesuai, baik dengan bentuk militer, politik, media, atau dengan perantara apa pun yang disyariatkan. Sebagaimana kita wajib untuk tidak membuang sia-sia usaha kita terhadap apa yang tidak ada manfaat di belakangnya dari perkataan dan perbuatan, dan masuk ke dalam persengketaan antara yang haq dan yang bathil, yang benar dan yang salah yang tidak ada ujungnya, wajib bagi kita untuk memperhatikan setiap masalah yang masuk ke dalam batasan lingkaran konflik, adapun masalah bid’ah yang banyak dan tersebar hari ini di tengah kaum muslimin, penyimpangan, qubiriyah, kesesatan, penampakan perbuatan fasik, kemaksiatan … dan lain sebagainya, tidak akan pernah habis dan semua ini berasal dari fenomena hilangnya Imam syar’i, dan tidak ada hukum syariat, yang akan hilang dengan kemunculannya dan akan muncul dengan ketidak adaannya”. [Dakwah Muqawamah].
Andaikan seruannya itu benar, tentu syirik kubur akan dihapuskan dari negeri kaum muslimin sekedar dengan menangnya sebagian orang yang diagungkan oleh As-Suri, akan tetapi syirik kubah ini masih tetap tersebar hingga akhir masa quburiyun dari orang-orang Utsmaniyah, yang diakui oleh As-Suri dengan kesufiannya yang parah tapi dia kemudian menganggapnya sebagai kekhalifahan syar’i terakhir…[4]
Lunaknya As-Suri terhadap masalah perbedaan antara Ahlus-Sunnah dan ahlul-bid’ah (Asy’ariyah, Maturidiyah, bahkan terhadap Sufi quburiyah musyrik).
As-Suri berkata: “Permasalahan ini telah diwarisi dari dua madrasah; Asy’ariyah serta cabang-cabangnya, dan Salafiah atau Ahlul-Hadits serta cabang-cabangnya, hingga keduanya mencoret pihak lainnya dari kelompok Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan menganggap setiap mereka adalah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan aqidahnya adalah aqidah firqah najiyah sedangkan kelompok lainnya adalah termasuk kelompok 72 yang berada di neraka. … dan meski para ahlul-hadits sepakat bahwa ini bukan berarti kekal di dalam neraka bagi setiap kelompok-kelompok ini, dan semua yang menisbatkan diri kepadanya adalah ahlul-qiblah dan umat islam, hanya saja dua kelompok ini membatasi bahwa keduanya lah yang berafilisasi kepada Ahlus-sunnah wal-jama’ah, yang memiliki gelar ini dan mencoretnya dari kelompok lain. Persengketaan ini mereda sebagaimana persengketaan lainnya pada masa-masa terakhir karena kesibukan umat dengan penjajahan dan musibahnya, kemudian dengan pemerintahan merdeka penjajah, dan apa yang menyebabkan serangan madzhab-madzhab sekuler, idiologi dan politik modern, karena lemahnya semangat religiusitas umat secara umum pada dekade pertengahan abad ke 20, begitulah, permasalahan ini tertidur dalam tempo yang singkat, namun kembali bangun bersamaan dengan tumbuhnya madrasah kebangkitan Islam modern, dan kembali bersamaan dengan tumbuhnya madrasah gerakan salafi modern dan serangannya terhadap madzhabisme dan Asy’ariah, dan tetap bertahannya kebanyakan madrasah kebangkitan lainnya dengan aqidah Asy’ariyah, apalagi madrasah-madrasah islahiyah (perbaikan), jama’ah tabligh dan dakwah, gerakan sufisme dan lainnya, begitu juga kebanyakan ulama-ulama resmi dan imam-imam masjid serta ulama-ulama madzhab yang empat, di sisi lain kebanyakan jihadis memilih aqidah salafiah, fiqh dalil dan pilihan-pilihan manhaj salaf, maka sampailah akhirnya masalah ini kepada kita, dan ini menjadi salah satu poin penting yang menyita perhatianku untuk menuliskannya dan aku paparkan sekilas aqidah kita dalam dakwah muqawamah (perlawanan) Islam global, karena ini adalah salah satu masalah rumit dalam perjalanan jihad, perlawanan (muqawamah) dan menolak para penjahat, karena dalam gambaran finalnya akan membentuk pintu perpecahan, hizbiyah, fanatik fiqh kemudian merembet kepada pemikiran dan pergerakan, dan penyebab runtuhnya bangunan dari dalam, di dalam barisan kaum muslimin dan di tengah perlawanan pada saat kita disergap kuda-kuda Mongol modern; Amerika dan Zionis dengan rantai tank mereka dan deru pesawat mereka, satelit buatan mereka mengawasi percakapan rahasia dan aktifitas harian kita, meriam mereka menembak di atas kepala kita dari udara, daratan dan lautan, dan jika bukan karena bosan, aku sudah menolak untuk mengisahkan kisah ini; awal perhatianku terhadap masalah ini adalah pada masa jihad orang-orang Arab di Afghanistan, di mana saat itu hadir sejumlah ulama salafi jihadi, dan saingan mereka dari madrasah-madrasah Asy’ariyah, dan ulama-ulama Afghan, Pakistan, dan anak benua India serta Asia tengah dan mayoritas kaum muslimin di wilayah ini yang taklid terhadap orang-orang ini juga pengikut Asy’ariah, dan ini menjadi sebab jurang besar antara mujahidin Arab dan mereka semua, jurang pemisah yang menyebabkan masalah besar di medan itu, pihak Intelijen memungut kesempatan ini sehingga BBC mengambil keuntungan dari masalah Wahabisme di Afghanistan, dan usaha sia-sia Syaikh Abdullah dan yang semisalnya untuk meyakinkan ikhwah agar menunda urusan semisal ini … dan masalah ini tidak perlu dirinci di sini; kemudian setelah itu, di saat aku ikut terlibat dalam memperkuat jihad di Aljazair (1994-1997) yang dipimpin oleh Jamaah Islamiyyah Musallahah (Jamaah Islamiyyah Bersenjata) sebelum penyimpangan pemimpinnya sebagaimana yang aku jelaskan dalam Bab Pertama, sebagian penuntut ilmu kalangan salafi ikut terlibat dalam mendukung Jama’ah Musallahah (Bermanhaj Salafiah), mereka menjadikan minbar media kita, yang mendukung masalah jihad di Aljazair sebagai garis panduan perang kaum salafi terhadap Asy’ariah dan Madzhabisme! Dan itu adalah tragedi lain yang aku lihat sendiri efeknya dengan diriku; kemudian kembali terulang masalah ini pada periode kedua terhadap kaum Afghan-Arab pada masa Taliban, yang menjelma menjadi batu besar yang membatasi para Jihadis Salafi dari orang-orang Arab dan Imarah Syar’iah, di mana amirnya, komandannya di Taliban, serta ulamanya seluruhnya adalah pengikut Asy‘ariah dan bermadzhab Hanafiah, mereka tidak kalah fanatik dengan apa yang ikuti oleh para ikhwan kita yang fanatik dengan peran mereka dalam madzhab Salafiah, dan ini merupakan pengalaman ketiga yang aku hadapi langsung dengan diriku untuk kemudian melihat pentingnya dilema ini yang tidak datang pada waktunya, karena kerasnya serangan musuh yang kita hidup di dalamnya, dan aku ingin mempelajari masalah ini di sini dalam bab khusus dalam masalah aqidah secara umum, dan aqidah jihadi bagi perlawanan secara khusus demi memberikan sumbangsih dalam usaha menghentikan kemudharatannya di dalam barisan jihad kita, dan karena itu adalah masalah aqidah dan dien.”
“Maka aku mempelajarinya dengan sikap inshaf dan netral untuk mencari bagi diriku keyakinan yang benar yang aku harap dengan meyakininya aku mendapat ridha Rabbku, itu yang pertama. Kemudian untuk menyuguhkan apa yang telah aku ringkas kepada para ikhwah mujahidin sebagai nasihat serta kepada siapa saja yang sampai kepadanya hal ini dari kalangan kaum muslimin. Aku telah meringkasnya dari pandanganku di sini ke dalam beberapa poin setelah aku beristikharah kepada Allah untuk meminta kepada-Nya petunjuk, tapi aku akui bahwa aku merasa sangat khawatir dengan pernyataan pendapatku ini karena dua hal: Yang pertama karena masalah ini sangat sensitif dan menyentuh salah satu hal yang paling khsusus dalam kekhususan dien, yang sepanjang sejarah telah menjadi medan persinggungan dan permasalahan. Yang kedua bahwa para jihadis pertengahan yang aku berafiliasi kepadanya kebanyakan bermadzhab salafi, dan di dalamnya terdapat orang yang berta’ashub membabi buta terhadap segala sesuatu yang menyelisihi pendapatnya dalam masalah ini sebagaimana pada mayoritas hal selainnya. Tetapi aku juga mendapat motivasi dari dua hal juga: pertama, daruratnya menyatukan barisan Ahlus-sunnah wal-jama’ah dalam jihad dan perlawanan, dan daruratnya meletakkan masalah ini ke dalam sarungnya minimal antara para mujahidin dan pelaku perlawanan, dan kedua; aku mendapati dan aku kagum terhadap salah satu ulama mujahidin yang sebelumnya telah sampai pada kesimpulan sebagaimana yang aku simpulkan dari usahaku yang lemah sendirian ini, dan dia telah menulisnya dengan penuh ketegasan dan kejelasan, dan tidak diragukan lagi bahwa dia memiliki teman-teman dari kalangan ulama di zaman ini yang belum pernah aku telaah pendapat mereka…”
“… Dan aku tulis sebuah ringkasan yang aku ambil petunjuk darinya dalam masalah aqidah dan masalah madzhab dalam poin-poin berikut ini: dalam masalah ‘aqdiah; 1) Bahwa madzhab salaf dalam masalah i’tiqad yang telah kami jelaskan sebelumnya adalah madzhab yang benar, yang dengannya aku beragama kepada Allah Ta’ala, mereka adalah ahlus-sunnah wal jama’ah dan firqah najiyah insya Allah. 2) Bahwasanya madzhab Asy’ariah atau madzhab khalaf, telah menjauh dari kebenaran dengan mereka menjadikan ta’wil dan tafsir sebagai metode dalam asma’ wa sifat dan tanpa menjalankannya sebagaimana yag dijalankan oleh salaful-ummah, tetapi itu semua tidak mengeluarkan keadaan mereka dari Ahlus-sunnah wal-jama’ah, dan mereka hanya keliru dalam masalah di mana mereka keliru saja, tidak lebih sebagaimana juga banyak keliru para ulama yang menisbatkan dirinya kepada madzhab salaf dari para kalangan ulama hari ini, dan condong kepada madzhab murjiah, terlebih dalam masalah al-Hakimiah, dan tidak ada seorangpun yang memvonis mereka keluar dari ahlus-sunnah sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang hari ini, mereka mengeluarkan dan memasukkan manusia dari Ahlus-sunnah.” (Dakwah Muqawamah).
Dan dalam pembahasan seputar wajibnya berperang di belakang setiap imam – yang baik maupun yang buruk – setelah menyebutkan dinasti Mamalik, Ayubiah, dan melakukan tadlis dan membuat kerancuan pembaca bahwa para komandan mereka dan pemimpin mereka adalah quburiyun, dan itu semua untuk membolehkan perang di bawah panji syirik dan hanya menganggapnya panji bid’ah sesuai ushul mereka yang melakukan udzur dengan kebodohan! Dia berkata: “Maka runtuhlah dinasti Mamalik dan muncullah orang-orang Utsmani, siapakah Utsmani? Tabiat mereka adalah bodoh, dzalim dan keras. Dan Allah telah menjaga Islam lewat mereka, dan menaklukkan ibukota Romawi Konstantinopel lewat tangan mereka … hingga ditinggikan suara adzan di sana dan menjadi tanah air Islam dan ibukota khilafah hingga masa bapak-bapak kita, lalu runtuh tidak lebih hanya tujuh puluh tahun yang lalu saja! Pakah para imam kaum muslimin meninggalkan jihad di belakang mereka hanya karena mereka para sufi pengikut madzhab hanafiah? Apakah mereka meninggalkan jihad terhadap para musuh baik jihad defensif maupun ofensif? Cukup bagi orang-orang Utsmaniah bahwa di antara kebanggaan mereka dahulu mereka tidak mengizinkan bagi kapal-kapal Nashrani untuk melintasi selat Bab Mandib di Yaman hingga teluk Swiss, karena mereka akan melintasi dengan laut Jeddah dan itu termasuk kawasan al-Haram, sehingga bagi mereka seluruh laut merah adalah haram untuk dimasuki orang Nasrani! Dahulu kapal-kapal Utsmani menerima barang-barang dagangan kaum nashrani di Yaman dan memindahkannya untuk mereka ke teluk Swiss dan menyerahkannya kepada mereka di laut Mediterania, dan raja terakhir mereka adalah Sultan Abdul Majid di abad ke tujuh belas, mereka menyebut laut Mediterania sebagai danau Utsmaniah, maka seorang wartawan Inggris bertanya kepadanya; jika laut Mediterania dan pantainya sebelah utara seluruhnya adalah milik kaum Salibis disebut sebagai Danau Utsmaniah, maka bagaimana dengan laut Hitam yang dikelilingi oleh kerajaan Islam dan pasukan Khilafah Utsmaniah secara penuh? Maka Sultan Utsmani ini menjawab; Laut Hitam adalah kolam renang kerajaannku! Begitulah, di tangan mereka kemuliaan Islam, dan kaum muslimin berjihad bersama mereka dan kisah-kisah mereka terkenal”.
Dan hal ini terus seperti itu hingga runtuhlah Daulah Khilafah, dan datanglah pasukan Romawi dalam gelombang salib ke dua di abad 19 dan 20 masehi, terutama pemimpin mereka; Inggris, Perancis, negara-negara Eropa dan Rusia di tengah Asia, maka siapakah yang telah berjihad lebih dari setengah abad dan siapakah yang telah mengusir mereka dari sisi timur dunia Islam? Yang telah berjihad melawan mereka adalah para ulama India dan Pakistan dari para gerakan Deobandi dan Sufi madzhab Hanafiah, mereka telah berjihad melawan Inggris selama 130 tahun dan mengusir mereka, begitu juga pengikut madzhab Hanafi Sufi di Afghanistan, mereka menimpakan pembantaian kepada pasukan Inggris bahkan dalam suatu pertempuran pasukan Inggris membawa pasukan dengan jumlah mencapai sepuluh ribu orang, bahkan ada yang mengatakan hingga tiga puluh ribu orang, dan tidak ada yang selamat kecuali satu orang saja! Mereka membiarkannya hingga menceritakan kisah kejadian kepada ratu Inggris. Adapun pengikut madzhab Hanafiah Sufi di lembah Fergana (di tengah Asia dari negara Uzbekistan) mereka telah menimpakan bencana kepada pasukan Rusia, begitu juga Imam Syamil, pengikut madzhab Syafi’i Asy’ari Sufi telah berjihad melawan Rusia selama 60 tahun di Kaukasus, dan kisahnya sangat masyhur diceritakan, semoga Allah merahmatinya”.
“Adapun di negeri Syam, maka para syaikh sufi Asy’ariah dan ulama-ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i telah melakukan jihad melawan Perancis kemudian Inggris. Sedangkan di Libya terjadilah revolusi melalui tangan para syaikh pengikut madzhab Maliki, sufi, Asy’ariah, yang paling terkenal adalah Umar Mukhtar rahimahullah, begitu juga para syaikh dari tarekat Sanusiah sebelum dan sesudahnya. Di Sudan terjadi revolusi al-Mahdiyah yang dilakukan oleh orang-orang Sufi yang berhasil mengusir Inggris, begitu juga di Aljazair terjadi banyak revolusi yang dilakukan oleh para kaum Sufi Malikiah Asy’ariah, yang paling terkenal adalah revolusi Abu Umamah dan revolusi Abdul Qadir al-Jazairi, dan di Tunisia juga seperti itu, telah terjadi revolusi yang dilakukan para ulama Zaitunah, mereka adalah pengikut madzhab Maliki Asy’ariah, untuk melawan Perancis. Di Maroko, Abdul Karim Al-Khaththabi, pengikut madzhab Maliki, Sufi, Asy’ari, melakukan revolusi dan berakhir dengan tegaknya republik Islam yang berlangsung hingga tahun 1963, namun sayangnya mungkin banyak yang tidak mengetahui ini, padahal dia telah menang dalam pertempurannya yang terkenal terhadap tentara lima negara Eropa yang bergabung, dan tawanannya dalam salah satu pertempuran ini yang dikenal dengan pertempuran Anwal yang masyhur, jumlahnya lebih dari sepuluh ribu tawanan, termasuk seratus jenderal dan Marshall dari tentara Eropa hingga Amerika harus ikut campur dan mengatakan ‘Islam telah kembali untuk menaklukkan Eropa’. Namun laki-laki ini telah diperlakukan tidak adil oleh sejarahnya, aku telah membaca sebuah hal yang menakjubkan dari perkataan Mao Che Tung (yang dianggap sebagai pengamat paling terkenal dalam masalah perang gerilya), dia berkata di dalam bukunya “Enam Makalah Militer” tentang al-Khaththabi; “Dia adalah guru militer paling besar dalam perang gerilya”. Padahal dia belum pernah melihatnya, dan hanya mempelajari eksperimen-eksperimannya, di saat yang sama kebanyakan anak-anak kita hari ini tidak mendengar tentang al-Khaththabi, tetapi mereka mengenal Che Guevera dan bintang Academy Star, kisah kehidupan Maradona, cerita Madonna dan kisah Fifi Abduh!”.
“Dan di Afrika benua hitam, terdapat kisah besar namun tidak pernah kita ketahui karena kebodohan kita terhadap sejarah kita sendiri, Islam telah masuk ke Afrika; Libya, Aljazair, Maroko dan Sudan melalui jalan Sufisme yang mengetuk penjajahan sejak lama, dan begini juga keadaan negara-negara di timur Asia dan Malaysia, dari Filipina hingga Indonesia, hingga kemudian jihad akhir kaum muslimin di Afghanistan melalui tangan para pengikut madzhab Hanafiah Sufi yang belum juga membuat kagum kebanyakan ikhwan kita … [Dakwah Muqawamah].
Dia juga berkata; “Masalah Sufisme: Kebanyakan Jihadi terpengaruh dengan manhaj Ibnu Taimiyyah dan Madrasah Salafiah dalam memerangi Madrasah-madrasah Sufi yang menyimpang, dan menganggapnya sebagai manhaj bid’ah dan sesat, dan sebagian bersikap ekstrim dalam masalah ini, dan di saat yang sama ada sebagian minoritas dari mereka yang bersikap adil dalam menghadapi madrasah Tasawuf dan para sufi.” [Dakwah Muqawamah].
Aku berkata; “Jika aku nukil semua apa yang dikatakan oleh As-Suri dalam membela kaum Asy’ariah, Maturudiah dan Sufisme dan mengagungkan simbol mereka – seperti perlawanan Sufisme Nasionalisme terhadap penjajahan Eropa – dan berdebat membela mereka dan merendahkan siapa yang mengingkari kesesatan mereka, maka akan panjanglah makalah ini, Allahul Musta’an. Perlu diketahui, dia tidak tahu hakikat Asy’ariah, dan mengira bahwa perbedaan mereka dengan salaf hanya sebatas dalam masalah Tauhid Asma wa Sifat, dan ini adalah batil, sebagian ulama salaf mengatakan bahwa Asy’ariah adalah “tiruan” Jahmiah[5], mereka berada di jalan Jahm dalam sikap al-jabr, irja` dan kalam, hal yang telah menjerumuskan mereka ke dalam banyak kesesatan dalam: Tauhid, Nubuwat, kalamullah, haqiqatul-iman, al-asbab wal musabbabat, hikmatullah, ahaditsul-ahad dan lain sebagainya … wallahul-Musta’an.
Dan secara dzahir, dari perdebatannya membela sufiyah dia ingin menganggap dirinya sebagai apa yang dia sebut “Jihadi minoritas” yang bersikap “Pertengahan dalam menyikapi madrasah tasawwuf dan orang-orang sufi”, dan perlu diketahui di antara sikap tadlis As-Suri adalah berulang kali dia mengulang kata antara “Salafi jihadi” dan Salafiah Saluliah dalam mengejek orang-orang yang mencela Sufisme ‘Jihadi’ seperti pengakuannya, jika dia berada di Iraq mungkin dia akan mendebat untuk membela “Pasukan Tentara Tarekat Naqsabandiyah”
Ajakan As-Suri untuk berlaku taqlid terhadap madzhab yang diikuti mayoritas masyarakat, agar dapat menarik simpati masyarakat umum, sehingga seorang mujahid mesti meninggalkan sikap mengangkat tangan sebelum ruku’ dan sesudahnya, dan menikahi seorang muslimah tanpa izin walinya di setiap negeri yang bermadzhab Hanafiah, dan tidak bersedekap meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di setiap negeri yang bermadzhab Maliki, dan lain sebagainya;
As-Suri berkata; “Aku nasihatkan kepada para pemuda dan para penuntut ilmu … supaya mereka mengambil pandangan fiqh sesuai dengan madzhab yang mereka (masyarakat_pent) pilih, dan aku nasihatkan terlebih kepada para pemuda kebangkitan dan jihad supaya mengambil pandangan fiqh dengan salah satu madzhab yang diikuti secara mayoritas dalam suatu daerah di mana dia tinggal, dia berdakwah, dia beramal, dia berjihad, hingga dia tidak disekat dengan keanehan mereka dari apa yang biasa dilakukan oleh manusia dalam fiqh dan hukum-hukum yang berlaku di antara mereka dan antara manusia”. [Dakwah Muqawamah]
Dan setelah ini semua, masihkah mujahid mengingkari kecacatan Abu Mush’ab as-Suri!? Atau apakah dia justru bersyukur kepada Allah karen laki-laki ini telah terbongkar dan begitu juga pemikirannya hingga manusia bisa berhati-hati darinya?
Ditulis oleh Abu Maysarah Asy-Syami – ghafarallahu lahu
Selesai diterjemahkan oleh: Usdul Wagha, Ramadhan 1437H
[1] Perlu diketahui, sesungguhnya para amir besar di Khilafah tidaklah terlalu memperhatikan risalah-risalah Azh-Zhawahiri karena panjangnya dan banyaknya, serta karena kesibukan mereka terhadap jihad, kecuali setelah bangkitnya kemurtadan pengkhianat, di mana Zhawahiri mulai menyingkap melalui ucapannya apa yang selama ini tersembunyi dalam tulisan dan dalam sejarah, para amir ini selama bertahun-tahun mengira bahwa dia tidak mengerti keadaan orang-orang Rafidhah dan tidak tahu bahwa syirik akbar adalah landasan mereka, ini disebabkan karena sedikitnya orang-orang Rafidhah di luar Iraq dan Iran – terlebih di Mesir, di mana di sana muncul seruan dakwah untuk mendekatkan antara Sunni dan Rafidhah – mereka mengira bahwa Zhawahiri mengudzur mereka dengan kebodohan karena perkara-perkara sesat yang tidak termasuk syirik, hingga kemudian Zhawahiri terus di atas kesesatannya hingga tidak ada kelompok murtad kecuali dia membelanya terhadap Islam dan kaum Muslimin, aku berharap kepada Allah semoga menjadikan kebinasaannya di tangan para Ikhwan di Wilayah Khurasan.
[2]Vonis kafir dari para imam Daulah Islamiyyah kepada para pengikut pemilu adalah perkara masyhur, Imam Abu Mush’ab Az-Zarqawi- taqabbalahullah berkata; “… dan karena dorongan ini, dan juga lainnya, maka kami umumkan perang sengit kepada manhaj busuk ini, dan kami jelaskan hukum para pelaku aqidah bathil ini, dan jalan merugikan ini, maka siapa saja yang berusaha dalam menegakkan manhaj ini, dengan bantuan dan pertolongan, maka dia telah bertawalli kepadanya dan kepada para pelakunya, dan hukumnya sama seperti hukum orang yang menyeru kepadanya dan mendukungnya, dan orang yang mencalonkan diri untuk pemilu mereka adalah orang-orang yang mengaku memiliki sifat rububiyah dan uluhiyah, dan orang yang memilih mereka berarti telah menjadikan mereka sebagai arbab dan sekutu daripada selain Allah, dan hukum mereka di dalam agama Allah adalah kufur dan keluar dari Islam. Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikannya? Ya Allah saksikanlah! [Walitastabina sabilal-mujrimin].
[3]Abu Mush’ab As-Suri berkata, setelah panjang lebar berbicara seputar persengketaan antara dia dan harian Al-Hayat Saluliah (baca: Saudi_pent); “Sebagian ikhwan yang tulus menasihatiku untuk membawa harian Al-Hayat ke jalur hukum di hadapan hakim Inggris, dan itu tidak lebih dari mimpi khayalan, karena bagaiamana aku akan dapat membayar persidangan dan pengacara, aku tahu hal ini sebelumnya bahwa hal itu butuh dana yang hanya aku bisa dengar hanya di film-film saja! Tetapi itu bukan hanya film yang diwujudkan nyata oleh Allah, dan sebab masalah ini sudah dipastikan, dan Allah menghubungkan sebagian teman untuk meminjamkan dana pertama setelah aku meyakinkan sejumlah pengacara akan keuntungannya, dan terjadilah kesepakatan yang mengharuskan koran ini membayar denda dalam jumlah besar sebagai pengganti karena mereka mencemarkan nama baikku yang menyebabkan hidupku teancam bahaya, dan pengadilan Inggris dengan penuh integritas bisa untuk idpercaya … maka terjadilah perincian dan kejadian-kejadian dalam proses pengadilan itu yang tidak perlu untuk dituangkan di sini, akan tetapi hasilnya bahwa harian Al-Hayat setelah tidak dapat mendapatkan bukti apa pun atas tuduhannya yang berbahaya dan diberi tempo beberapa bulan, hingga menunjukkan keinginan damai, yang aku kemudian sepakat dengannya setelah tarik ulur sangat lama melalui perantara penulisnya, maka itu semua menghasilkan beberapa hal berikut: 1) Mereka harus menulis surat dan kesepakatan damai yang akan dicatat oleh mahkamah Inggris, bahwa semua yang dituduhkan kepadaku, dari berbagai tuduhan dan pencemaran, adalah murni dusta dan kebohongan akibat tidak adanya bukti dan kesalahan mereka dalam kode etik jurnalistik, dan bahwa mereka menyandarkan cerita dengan saksi yang tidak dapat dipercaya, dan bahwa aku terbebas dari setiap keustaan yang mereka nisbatkan kepadaku. 2) Untuk menyebarkan teks permintaan maaf dengan bahasa Arab di dalam koran mereka, yang menetapkan di dalamnya poin di atas juga, dan aku diperbolehkan untuk menulis permintaan maaf mereka kepadaku sesuai dengan apa yang aku suka! Dan inilah yang aku tulis dan aku paksa mereka untuk menyebarkannya. 3) Mereka harus membayar uang ganti rugi dari perbuatan buruk mereka. 4) Mereka harus membayar uang pengacara yang telah diberi wewenang dalam persidanganku. 5) Mereka harus membayar seluruh biaya persidangan secara total, terlebih terhadap apa yang mereka tanggung atas kelompok pengacara yang mereka sewa! Dan ini semua terjadi dengan pertolongan Allah, dan aku berhasil melunasi hutangku yang telah berlipat-lipat, hingga tersisa untukku dana yang aku gunakan untuk hijrah ke Afghanistan Thaliban dalam waktu singkat, Alhamdulillah. [Diringkas dari ‘Persaksianku Atas Jihad di Aljazair’].
Allah berfirman; “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk kufur kepadanya”. [An-Nisa: 62].
Sulaiman ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Abdul Wahhab – rahimahullah berkata; “Allah berfirman ‘Padahal mereka telah diperintah untuk kufur kepadanya’ yakni kepada thaghut, dan ini dalil bahwa tahakum kepada thaghut itu menafikan iman dan berlawanan dengannya, sehingga tidak sah keimanan kecuali dengan kufur kepada thaghut dan meninggalkan tahakum kepadanya, maka siapa yang tidak kufur kepada thaghut maka dia belumlah beriman kepada Allah. dan firman Allah “Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan sejauh-jauhnya’, yakni karena keinginan untuk bertahakum kepada selain kitabullah dan sunnah Rasul-Nya termasuk ketaatan kepada setan, dan dia tidak lebih menyeru para pengikutnya untuk menjadi penghuni neraka, dan di dalam ayat ini terdapat dalil bahwa meninggalkan tahakum kepada thaghut – yakni apa yang selain kitabullah dan sunnah Rasulullah – adalah termasuk kewajiban, dan bahwa bertahakum kepadanya berarti bukanlah seorang mukmin, bahkan bukan seorang muslim. [Taysir al-‘Aziz al-Hamid].
Berkata Sulaiman ibn Sahman; “Apabila engkau tahu bahwa tahakum kepada thaghut adalah kekufuran, dan Allah telah menyebutkan di dalam kitab-Nya bahwa kekufuran itu lebih besar dari pembunuhan, dengan berfirman; “Dan fitnah itu lebih besar dari pembunuhan’ dan berfirman “Dan fitnah itu lebih keras dari pembunuhan”. Fitnah: yakni kufur. Apabila antara penduduk desa dan kota saling membunuh hingga mereka mati semua, maka itu lebih ringan di sisi Allah daripada mereka menetapkan seorang thaghut untuk berhukum dengan yang menyelisihi Syariat Islam yang telah Allah utus Rasul-Nya dengannya … jika tahakum ini adalah kekufuran, sedangkan persengketaannya hanyalah masalah dunia, maka bagaimana boleh bagimu untuk kufur hanya karena itu? Maka sesungguhnya manusia itu tidak beriman, hingga dia menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai yang paling mereka cintai dari selain keduanya, dan hingga Rasulullah menjadi lebih dia cintai dari pada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia, maka seandainya seluruh harta duniamu lenyap, maka engkau tetap tidak boleh untuk bertahakum kepada thaghut demi untuk mendapatkannya kembali, jika engkau terdesak dan diberi pilihan antara bertahakum kepada thaghut atau harus menguras hartamu, maka engkau pasti lebih harus mengurasnya, dan tidak boleh bagimu untuk pergi bertahakum kepada thaghut.” [Ad-Durar As-Saniyyah].
[4]Untuk mengetahui hakikat Daulah Utsmaniyyah, rujuk kitab “Daulah Utsmaniyyah dan sikap dakwah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab terhadapnya”, tulisan Syaikh Nashir al-Fahd – fakkallahu asrah. Dan setelah dinukil oleh Syaikh Abu Jandal Al-Azdi – taqabbalahullah – dan aku membaca risalah ini dengan judul “I’tidzar wa Faidah Muhimmah” dia berkata; “Dan darinya kamu tahu, siapa yang tertipu dengan Daulah ini dan menganggapnya sebagai benteng terakhir dari benteng-benteng Islam, yang dengan kehancurannya maka hilanglah izzah kaum muslimin! Dan sejarah yang jujur menetapkan hal lain dari itu”. [Silsilah ‘Alaqah Ad-Dauliah fie al-Islam 3], dan keadaan Daulah Utsmaniyah adalah yang paling nyata dalam perangnya terhadap tauhid di Hijaz dan Nejd, bahkan itu berhasil membunuh Imam Sulaiman ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Abdul Wahhab – rahimahullah – dan yang lainnya dari para mujadid dan pemimpin dien.
[5]Catatan penerjemah: Dalam artikel aslinya, Abu Maysarah menggunakan kata Makhanits al-Jahmiyah. Dalam kitab “An-Nubuwwat” syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah mengutip perkataan salaf dengan mengatakan “Al-Asy’ariyah makhanitsu al-Mu’tazilah”. Makhanits berasal dari suku kata yang sama dengan kata “khuntsa”, yaitu seseorang yang memiliki sifat laki-laki dan perempuan. Al-Asy’ariyah disebut makhanits Mu’tazilah karena mereka mengambil dasar-dasar pemikiran kaum mu’tazilah walau tidak secara total. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Khalid al-Mushlih dalam Syarh ‘Aqidah Wasathiyah: “Karena itu dikatakan bahwa Mu’tazilah makhanits Jahmiyah, dan Asy’ariyah makhanits Mu’tazilah, karena mereka tidak secara total melakukan i’tizal, tapi tidak juga meniti jalan ahlus-sunnah wal-jama’ah, namun mereka melipat antara yang haq dan yang bathil”. Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment